Cerita Entot Temanku Vania
“Dhit, Dhito. Dhit bangun udah jam 6”
Mataku terbuka, tapi tidak bisa terbuka penuh karna ada cahaya terang dari jendela. Cahaya matahari telah berpergian sejauh 149,6 juta kilometer, dan sekarang sudah sampai di jendela kamarku, bersiap mengetuk kaca dan membangunkanku. Tapi alarm alami ku mendahuluinya
Kulihat ibu negara di rumahku berada di samping kasurku dan sudah sangat rapi
“Mama rapi banget? Mau ke mana?” Tanyaku dengan perasasaan bingung. Bingung karena mama ku sudah rapi, atau bingung karena nyawa masih setengah
“Lah gimana sih, Mama kan mau ikut Papa kunjungan ke cabang Bali. Sana cepetan mandi!”
Ah, aku baru ingat
Papa adalah seorang Manager di sebuah cabang perusahaan pendidikan di kota yang penduduknya dikenal kasar tutur bicaranya. Setiap sebulan sekali, beliau selalu keliling Indonesia untuk meeting bersama Manager dari cabang lain. Ada kalanya meeting dilakukan di cabang Papa, jadi Papa tidak perlu repot repot untuk keluar kota
Dan Mamaku, seorang ibu negara yang tempat kerjanya di rumah, alias ibu rumah tangga. Dulu sempat bekerja di salah satu bank swasta di Indonesia. Tapi beliau pensiun muda di umur 35 tahun.
Aku? Seorang cowok biasa saja, 25 tahun, single, gamer, keyboardist, dan bodo amat dengan trend yang sedang ada. Tapi setidaknya aku punya beberapa hal yang bisa dibanggakan. Saat ini aku menjabat sebagai Marketing Supervisor di salah satu start up yang sudah besar di sini, dan sejak umur 20 tahun, aku sudah bisa membeli mobil, keyboard + amplifier, dan sebuah computer gaming full set sendiri (meskipun saat itu beli mobilnya 80% uangku, 20% uangn Papa)
Yup, dari jaman kuliah aku sudah bisa mencari uang sendiri dari hasil ngamen dan kerja freelance sebagai copywriter.
Jam 06.15
Sekarang aku sudah rapi.
Pasang headset, ambil kunci motor, dan siap berangkat ke kantor.
“Eits jangan pakai motor. Hari ini pulang jam berapa?” Tiba tiba mama menarik tasku
“Lah kenapa ma? Hari ini ya sama jam 5 pulangnya”
“Nah pas. Kamu bawa mobil aja ya. Nanti jam 6 mampir bandara, jemput si Vania”
“HAH? VANIA?” Tanyaku sedikit berteriak. “Dia kok tiba tiba pulang?”
“Dia cuman numpang sampe besok. Besok kan Pakde Bude baru pulang dari Medan. Kalo Vania langsung pulang ke rumahnya. Kamu tau sendiri, Pakde Bude mu kan gamau kalo Vania sendirian di rumah. Besok mereka pulang dari Medan langsung jemput Vania di sini kok, terus mereka langsung pulang ke rumahnya. Udah sana berangkat, ini bekalnya”. Tidak lupa, Mama menyodorkan rantang kecil untuk makan siangku di kantor.
Aku heran kenapa banyak orang seusiaku yang malu jika dibawakan bekal oleh ibunya. Padahal itu salah satu cara penghematan. Dan lagipula, itu masakan seorang ibu! Tidak ada tandingannya!
“Yaudah deh. Ini mama ke bandara naik apa? Sekalian aku anter?”
“Gausah. Papa mama naik taxi aja. Udah pesen juga kok”
“Okedeh. Aku berangkat dulu, Pa, Ma” Kuambil tangan kedua orang tuaku dan menciumnya
Seperti pesan para orang tua, pamit lah ke orang tuamu sebelum berangkat ke manapun. Terutama kalau pamit untuk mengejar pendidikan dan mengejar rezeki
Mobil ku nyalakan, tak lupa ku sambungkan bluetooth mobil dan bluetooth handphone. Open spotify – select hard/rock playlist- now I am ready to rock this day
Jam 07.15
Mobil sudah terparkir rapi, kuambil tas dan rantang di jok belakang.
Aku berjalan masuk kantor. Pintu dibuka oleh Security
“Pagi, mas Dhito. Pagi seperti biasa ya”
“Pagi, pak Rahman. Iyo wes biasane, pak. Daripada telat kan mending dateng duluan. Masuk dulu, pak. Monggo”
“Monggo, mas”
Aku ingat, ketika baru masuk, awal awal jadi staff di sini, aku dipanggil “Bapak” oleh semua security dan OB. Yang di mana itu adalah peraturan kantor. Tapi selang seminggu kemudian, aku memaksa mereka untuk sekedar memanggil “Mas” saja, atau perlu panggil nama sekalian. Pikirku, buat apa aku dipanggil “Bapak”? Toh aku juga masih muda.
Ruangan ku sudah siap untuk aku huni selama seharian. Tanganku sudah berada di gagang pintu. Lalu terdengar teriakan yang selalu memekakakan telinga.
“PAGI, MAS DHITO!”
Sumber teriakan itu berasal dari mulut seorang wanita berusia 23 tahun. Dia imut, berbadan pendek, tapi mempunyai bentuk tubuh yang sangat ideal.
“Lah, Cindy. Tumben banget kamu jam segini sudah datang? Biasanya juga mepet jam 8”
“Iya nih, mas. Huhu. Kemarin lupa banget aku ngeprint berkas berkas promosi yang mau dikirim ke kampus kampus. Jadi tadi aku jam setengah 7an udah nyampe sini terus langsung ngeprint semuanya. Tapi ini udah selesai semua kok, mas. Hehe”
Tawa kecil itu, senyuman itu, dan mulut itu. Selalu membuatku teringat kejadian di awal awal dia menjadi staff baru di sini. Di mana pertama kali aku menjamah bibir, dan seluruh badannya. Membongkar sebuah rahasia pribadi yang selalu dia pendam dan dia sembunyikan dibalik tingkah laku dan jilbab yang selalu dia pakai ke manapun dia pergi serta pakaian yang tidak mencetak lekuk tubuhnya.
Ah. Rasanya terlalu panjang jika aku ceritakan di sini.
“Halah kamu ini. Orang deadlinenya kan masih nanti sore. Kenapa buru buru?” Jawabku sambil berjalan masuk ke ruangan lalu menaruh semua barangku di atas meja
Aku duduk di kursi lalu menyalakan komputer. Cindy mengikutiku dan duduk di kursi depan mejaku.
“Ya kan gaenak aja, mas. Biar hari ini kerjanya cuman dikit gitu niatnya. Eh malah lupa”
Cindy sudah setahun di sini. Dia menggantikan aku sebagai Content Writer ketika aku diangkat menjadi Marketing Supervisor. Salah satu yang aku suka dari kinerjanya adalah tanggung jawabnya. Dia jarang sekali melebih deadline. Bahkan hampir tidak pernah. Misal deadline di hari Senin, maka hari Minggu sore softcopy kerjaannya sudah dikirim ke email ku dan Managerku. Meskipun untuk revisi dan approval akan dilakukan di hari Senin.
“Mas, pagi ini mau ngapain?”
“Ya biasa. Abis ini paling mau bikin kopi terus ngerokok dulu”
“Hehe. Mas, yuk ke atas” Dia menawarkan sesuatu yang sangat tidak aku duga. Dengan senyum manis, nada manja, dan mata yang merayu
“Masih pagi woy! Ngawur nih. Baru kali ini lho kamu ngajak pagi pagi gini”
“Ke atas”, kode yang hanya berlaku untukku dan Cindy. Kode untuk suatu tempat. Suatu sudut di tangga darurat, tempatku untuk menyendiri dan merokok, di antara lantai 4 dan lantai 5, tempat yang jarang dilewati oleh staff lain, tempat di mana menjadi saksi bisu cerita ku dan Cindy selama hampir setahun ini. Mulai dari sekedar kissing, handjob, blowjob, bahkan quickie.
“Mas. Bentar aja. Please. Udah gatel dari kemarin” Dia masih merayu sambil mencubit pelan lenganku.
“Gitu kenapa kemarin ga bilang?”
“Ih kan kemarin aku nungguin kamu, mas. Tapi aku gatau kamu meeting dulu sampe malem. Kalo aku nungguin kamu kan dikira yang enggak enggak. Lah kok aku lupa mau ngechat kamu pas di kantor. Pas nyampe kosan aku ketiduran. Bangun bangun udah jam 10 malem. Apesnya lagi pulsa abis, paketan abis, wifi kosan juga mati! Yaudah aku kentang dari kemarin malem. Ayo dong, maassss. Masih jam 08.30 lho ini, bentar aja ya”
Selain tanggung jawab yang aku suka, hal lain yang aku suka dari anak ini adalah keagresifannya. Apalagi agresifnya hanya ke aku! Ya, dia ke orang lain sangat biasa saja. Tidak menunjukkan bahwa dia bisa seliar ini. Bahkan ketika lagi nongkrong sama anak kantor dan lagi ngobrolin sesuatu yang dewasa, dia berakting seolah dia tidak paham apa yang sedang dibicarakan. Sampai sampai orang kantor menyebut dia sebagai Cindy bocah polos.
Wajah manja Cindy seakan membuat my little-big brother meronta, “Sudah terima saja tawarannya! Ini masih pagi, aku masih fresh!”
“Yasudah, kamu ke sana dulu”
“Ihihihih siap, mas”
Cindy lalu berlari kecil menuju tempat rahasia kami. Tidak lama aku juga mengikutinya.
Untuk menghindari kecurigaan, kami tidak pernah masuk ke tangga darurat berbarengan. Cindy masuk dari lantai 4, dan aku masuk dari lantai 5
Di tempat kecil itu Cindy sudah bersiap dengan membuka resleting celananya. Serta kaitan bra yang sudah terlepas
Belum ada 5 detik kami bertemu, Cindy sudah melumat bibirku. Kami beradu lidah. Tanganku berpetualang di balik kemejanya. Memijat lembut dadanya dan bermain dengan kedua putingnya. Lalu tanpa komando, Cindy sudah meraba celanaku dan membuka resleting celanaku.
Aku duduk di tangga, membiarkan Cindy melumasi my lil-big bro. Celana yang sudah terbuka sedikit membuat tanganku mudah untuk meraba liang kewanitaannya.
Sudah sedikit basah
Jariku langsung menggesek vagina Cindy. Setelah cukup basah, kumasukkan 2 jariku dan membuat Cindy kehilangan arah ketika mengoral penisku
Begitupun dengan aku. Aku menggelinjang parah karena mulut Cindy. Campuran antara hangat, licin, dan kenikmatan. Kepalanya naik turun semakin tidak beraturan ketika aku mempercepat tempo jariku
Tidak ada 10 menit, Cindy sudah berhenti
“Udah nih, mas. Udah basah. Yuk” Cindy mengeluarkan tanganku sambil tetap mengocok lembut penisku
Cindy lalu menungging di tangga. Biasanya penisku akan kugesekkan dulu ketika sudah di posisi ini. Namun apa daya, ini di kantor, kami sedang quickie, dan sebentar lagi orang oran pasti akan segera datang. Tidak pikir panjang aku langsung membenamkan penisku ke dalam vaginanya.
“Arghh, mas!” Segera kututup mulut Cindy agar tidak mengerang semakin keras
Satu tangan menutup mulut, satu tangan lagi meremas payudara Cindy tanpa ampun. Payudaranya yang kenyal, indah, dan sangat imut, serta puting yang berwarna pink. Membuatku tidak bisa berhenti bermain main mereka.
“Cindy, Cindy. Aku ga pernah kepikiran main sama kamu pagi pagi gini, di kantor pula”
Plak! Tanganku mendarat sedikit kasar di pantat putihnya.
Kulirik jam tanganku. 07.52.
“Gila, ini 3 menit lagi biasanya rame yang dateng nih” Pikirku dalam hati
“Cin, aku keluarin ya. Udah jam segini. Sini cium dulu”
“Engghh, iya, mas. Aduh geli, mas. Cepetin” Tempo gerakan langsung aku cepatkan. Kepala Cindy mengarah ke belakang. Bibir kami bertemu, untuk beradu, serta untuk menutup mulut Cindy agar tidak terdengar erangannya.
“ENGHHH”
Kurasakan Cindy sudah keluar, erangannya tertahan oleh bibirku.
Segara kulepas penisku. Cindy sudah paham. Dia membalikkan badan dan menyambut penisku. Dikulum habis penisku dan membiarkan aku membuang calon anak anakku di dalam kerongkongannya.
“Ah, you are so good, Cin. Gini ya rasanya main pagi pagi”
Cindy hanya tersenyum manja
Kami segera berdiri dan merapikan pakaian kami. Sudah pasti aku selesai duluan, karena aku hanya butuh merapikan celana saja. Sedangkan Cindy masih harus merapikan celana dan bra nya.
“Now, who’s my bad girl, huh?” Godaku sambil meraba payudaranya
“Hihihihi apasih, mas. Bentar dong, orang lagi ngerapihin baju malah diberantakin lagi”
07.58
“Brengsek, udah jam segini, Cin. Buruan balik sana”
“Iya iya, mas. Makasih ya” Cindy mengecup pipiku lalu mengeluarkan senyuman manjanya, lagi
Cindy lalu keluar dari tangga darurat. Lalu aku turun ke lantai satu langsung lewat tangga darurat dan menuju ke pantry untuk membuat kopi dan merokok sebentar.
Tidak lama aku sudah kembali ke ruangan staff. Kulihat Cindy sudah duduk manis di mejanya dan mengerjakan task untuk hari ini
Lalu aku masuk ke ruanganku, kembali berkumpul dengan pekerjaan yang seakan ber anak pinakk.
16.00
Satu jam lagi waktunya pulang. Tapi semua task sudah aku selesaikan. Kulihat dari ruangan, beberapa staff sudah tampak santai. Aku bosan.
*drrrt* *drrrtttt*
Handphoneku tiba tiba bergetar. Ada telepon masuk, dari nomor tidak dikenal
“Yah jangan sampai ini klient” Gumamku
Dengan malas aku mengangkat telepon masuk itu. “Halo”
“Halo, Dhito?” Terdengar suara wanita dari seberang telepon
“Iya, halo. Ini siapa?”
“Parah banget. Ini Vania”
“Waaaaaah tumben banget nih majikan nelpon supir. Ada apa, Van?”
“Asu. Aku cuman mau ngabarin, nanti aku landing jam setengah 7. Nanti tunggu aja. Aku flight dari Makassar”
“Hooooo iya. Kamu gak lupa muka kan?”
“Paling ya lupa. Kamu tambah jelek kan?”
“Jadi dijemput apa kamu naik taxi sendiri?” Aku menggoda dia dengan nada serius
“Hehe iyo iyoo. Udah ya. Jangan lupa jam setengah 7. Aku mau boarding dulu. Bye!”
*tuuuuut*
“Wealah, kok langsung mati?” Gumamku kesal
17.00
“Akhirnya pulang juga. Cek cek. Komputer sudah mati. Handphone, dompet, bekal semua sudah masuk. Sip”
Aku berjalan keluar dari ruanganku. Lalu Cindy datang menghampiri
“Mas, duluan ya. Aku mau pulang dulu”
“Iya, Cin. Eh btw, besok malem nganggur gak? Hehe” Tanyaku sambal mengerlipkan mata. Cindy harusnya sudah tau maksutku
“Yah, aku ini mau pulang ke Malang maksutnya mas hihihi”
“Yah” Rasa kekecewaan langsung keluar begitu saja. “Yaudah deh. Mau gimana lagi”
Aku dan Cindy perlahan berjalan keluar kantor. Kami bercakap cakap sangat pelan, agar tidak ada yang mendengar
“Gantian, kamu yang kentang, mas. Atau besok aku video call aja gimana?” Cindy menawari. Senyum manjanya membuatku sulit untuk menolaknya
“Awas kalo sampe enggak”
Cindy hanya tertawa kecil.
“Eh kamu mau dianter?”
“Gausah, mas. Aku udah pesen ojol kok. Langsung ke Stasiun soalnya. Itu juga udah dateng. Duluan ya, mas!” Cindy berlari kecil ke arah ojol yang sudah dia pesan
“Iya ati ati”
18.15
Mobilku sudah terparkir di Bandara. Aku menyalakan rokok dan berjalan menuju pintu kedatangan.
Di papan kedatangan ku lihat keterangan bahwa flight dari Makassar delay. Sial. Aku harus menunggu lagi.
18.50
Entah ini Rokok yang ke berapa batang. Aku sangat bosan. Yang menemaniku hanya handphone, rokok, dan tempat sampah yang digunakan menjadi asbak ini.
*plak*
Sebuah tamparan membangunkan aku dari lamunan kosong.
“Woy!” Wanita itu mengagetkanku
Seorang wanita berambut pendek, bercelana legging hitam, berkaos hitam, dan berkacamata bening. Wanita itu bermuka garang, tapi sangat cantik. Dan badannya. Damn! Perfect!
Dia membuatku melamun sebentar, sambil memandangi dia
Wanita itu, Vania. Anak dari Pakde Bude ku, alias Sepupuku
“Kenapa sih?”
“Eh, Van. Setahun ngilang kok sekarang udah di sini”
“Ngapain. Aku nyari nyari kamu di pintu kedatangan tapi gak nemu. Yaudah aku jalan ke sini. Pikirku nunggu di kursi itu. Eh ternyata kamu di sini”
Ada 2 hal yang membuatku bingung, atau lebih tepatnya 3 hal.
1. Dada nya yang begitu menonjol di balik kaosnya
2. Kacamata
Aku kenal Vania dari kami masih kecil. Dia sudah menjadi sahabat akrab ku di keluarga kami. Secara kami hanya berbeda 1 tahun, dan kami tumbuh besar bersama. Umumnya, dia harusnya memanggilku “Mas”, karena aku lebih tua. Tapi karena Ibu nya adalah kakak tertua Ibu ku, maka aku yang seharusnya memanggil Vania “Mbak”. Biasalah. Sebuah adat. Tapi, aku selalu membangkang. Beberapa kali diingatkan, tidak oleh orang tuaku, tidak juga oleh orang tua Vania, tapi diingatkan oleh keluarga yang lain. Tetap saja aku memanggil dia Vania. Sampai akhirnya mereka menyerah.
Aku paham kenapa dadanya bisa menjadi besar dan bulat seperti itu. Bisa jadi karena memang pertumbuhan. Meskipun terakhir kali kami bertemu, tidak seperti ini. Tapi, kacamata?
Vania ini adalah seorang aparat. Setahun ini dia ditugaskan di Makassar. Tidak selalu di Makassar sebenarnya. Dia sering berkeliling Indonesia, beberapa kali tugas ke luar negeri juga.
Lalu, bukankah aneh jika seorang aparat, terutama masih muda, sudah menggunakan kacamata?
“Eh kok kamu sekarang pake kacamata?”
“Halah ini cuman buat style aja sih, bukan kacamata minus. Cocok kan?”
Aku mengangguk setuju. Tidak hanya cocok, namun di mataku, Vania menjadi semakin cantik karena kacamatanya. Entah memang karena cantik, atau karena salah satu fetish ku adalah wanita berkacamata.
“Nih, bawain” Tukas Vania sambil menyerahkan kopernya. Kini dia hanya membawa tas selempang kecil
“Wah, sialan. Yaudah ayo” Aku mulai berjalan sambil menggandeng tangannya
“Ngapain sih kok nggandeng tangan?!” Vania melepas tanganku
“Biar kamu gak nyasar!”
Kami berjalan sebentar saja, lalu sudah sampai di mobilku.
Koper Vania aku masukkan ke dalam bagasi. Sedangkan sang pemilik koper sudah duduk manis di dalam mobil
“Langsung ke rumah aja atau makan dulu?” Tanyaku sambil memilih lagu
Vania dengan sigap langsung merebut handphone ku dan memilih lagunya sendiri. “Udah langsung aja. Aku udah makan. Eh selfie dulu dong, aku baru beli polaroid nih”
Anak ini, untung sepupu sendiri. Tapi aku tidak terlalu kesal, karena ternyata taste lagunya sama sepertiku. Lalu kami berfoto. Tidak lama, hasil fotonya sudah keluar. Keren sekali. Hasil fotonya didominasi oleh warna warna vintage.
“Seatbelt pake tuh. Katanya aparat”
“Ngomong terus! Udah sana nyetir” Vania langsung memakai sabuk pengamannya
*click*
Sabuk pengaman itu pas mendarat di antara dada Vania. Menekan kaosnya, dan mencetak bulatan indah tersebut
Aku sempat kaget. Langsung kuarahkan pandangan ke depan
“Iya, ndoro. Apa gak mau sekalian duduk di belakang?”
Vania hanya tertawa
Di sepanjang jalan kami berbincang. Dari basa basi semacam apa kabar, orang tua apa kabar, kerjaan, sampai alasan kenapa dia pulang. Yang intinya, dia mendapatkan libur seminggu dari atasannya.
19.45
Mobil sudah terparkir di garasi rumah. Entah kenapa perjalanan kali ini sangat cepat. Entah aku yang terlalu ngebut atau karena jalanan yang tiba tiba sepi. Atau kombinasi ke duanya
Kami berjalan masuk ke rumah. Tidak lupa membawa koper yang sangat berat ini
“Ini kamu tidur di kamarku aja”
“Huwaaa. Dari kapan kamu punya keyboard? Bisa main emang?”
“Lah kamu kira gimana aku bisa beli keyboard ini?”
“Gaya banget sih”
Ada satu yang terlupa. Kunci kamar orang tua ku
“Bajingan, aku lupa minta kunci kamar papa mama”
“Kenapa emang?” Tanya Vania sambil merebahkan badannya di kasurku
“Ya terus aku tidur di mana? Males banget tidur di luar. Dingin, banyak nyamuk”
“Hadeeeeh” Vania keheranan, “Yaudah sih tidur sini aja. Masih cukup kan kasurnya”
“Hmmm” Aku sejenak berfikir, tidur di samping wanita berbadan indah ini? My little-big brother pasti akan sengsara, “Yaudah deh gampang”
Aku mengganti pakaian ku, lalu bergegas mandi.
Tidak lama aku mandi, tidak ada 5 menit aku sudah selesai. Aku masuk ke kamarku. Kulihat Vania sudah berbaring sambil memainkan handphonenya di kasur memakai boxer dan tanktop, yang lagi lagi berwarna hitam. Damn!
Tak taukah anak ini kalau pakaian hitam juga salah satu fetishku. Kalau ini anak memakai pakaian seperti itu dan memakai kacamatanya, hancur sudah. My little-big brother pasti kecapekan karena tanganku.
“Gak mandi dulu?”
“Enggak. Males buka koper. Besok aja sekalian”
“Aku bukain deh kopernya” Aku sedikit menggoda
*buk*
Vania melempar bantal ke arahku
“Gausah aneh aneh!”
Ku lemparkan balik bantal tersebut ke arahnya.
“Makan gak? Aku mau pesen makan nih”
Vania sudah memeluk guling dan menghadap tembok membelakangiku, hanya menggerakkan tangannya, mengisyaratkan kata “tidak”.
Aku keluar kamar, mengambil minuman dingin di kulkas, lalu berjalan ke arah taman. Siapa yang tidak tergoda dengan duduk santai di taman, memandangi langit malam, sambil ditemani minuman dingin dan rokok. Ditambah, besok libur sampai Senin!
Aku melamun, sambil tersenyum. Tiba tiba teringat Vania, pemilik wajah cantik dan body sexy, yang sedang tidur di kasurku.
Aku terbangun. Sedikit merinding.
“Ini gila” Pikirku dalam hati
Sel sel di otakku tiba tiba bereaksi. Mereka bersatu dan sekuat tenaga membangun sebuah ide. Rokok kumatikan, lalu aku bergegas ke kamar. Aku tidak peduli meskipun Vania sudah tidur. Aku sudah tidak tahan. Aku tidak mau menunggu kesempatan lain. Malam ini juga akan kueksekusi!
“Akhirnya nemu juga ide buat bikin endingnya” Gumamku puas
Semua peralatan tempur aku nyalakan. Komputer, keyboard, dan amplifier. Segera kumainkan nada nada yang sudah dibentuk oleh sel sel otakku tadi. Sudah seminggu aku kebingungan mencari ide untuk ending lagu baruku ini. Lalu tiba tiba saja hanya karena teringat Vania aku langsung menemukan ide baru.
Segera kutulis nada nada tersebut. Memainkannya lagi, merekamnya, mendengarnya, lalu mengkoreksinya.
“Ah, harusnya yang ini pake C#m7/F aja” Gumamku senang.
Aku lalu merekamnya dari awal sampai akhir. Aku sampai tak memperdulikan gulingku yang saat ini sedang dipeluk oleh tubuh indah Vania.
“Fyuh. Akhirnya. Gini kan enak, jadi gak kepikiran lagi”
*drrrrt* *drrrrrt*
*Incoming call +6281200000000*
“Halo?”
“Halo, pak. Ini saya yang nganter makanan. Ini saya sudah di depan rumah”
“Oh, iya. Sebentar, pak”
Lagu sudah selesai, makanan sudah dateng. Pas!
Segera aku berlari ke depan rumah dan mengambil makananku
Tidak butuh waktu lama juga untuk aku menghabiskan makananku.
“Ngerokok itu biasa. Tapi kalo abis makan ngerokok, itu baru luar biasa” Aku meracau gembira. Entah karena laguku sudah selesai, atau karena aku sudah kenyang. Atau kombinasi ke duanya
Aku bersantai di ruang tengah sambil menonton YouTube di TV. Agak lama aku terhipnotis oleh penampilan konser band favoritku
“Kapan bisa punya lagu kaya gitu terus pas main yang nonton orang se dunia” Aku melamun lagi
22.30
Band favoritku menghipnotisku, dan membuatku tertidur sebentar. Aku segera bangun. Pagar depan dan pintu rumah aku kunci.
Aku berfikir sebentar. Kasur ku kecil. Bakal sempit. Ruang gerak tidak akan banyak. Tapi juga tidak mungkin aku tidur di ruang tengah ini. Tidak akan pernah nyaman. Yang ada aku akan sedikit sedikit bangun.
Tidak ada pilihan lain
Aku masuk ke kamarku. Vania masih memeluk gulingku, dan masih menghadap tembok. Celana dalamnya sedikit mengintip dari boxernya.
Ah sial.
Lampu aku matikan. Lalu secara perlahan aku naik ke kasur dan mulai berbaring. Kumainkan sebentar handphoneku, mencari hiburan di reddit dan twitter. 10 menit berlalu, mataku sudah lelah. Aku sudah tidak bisa konsentrasi. Handphone ku letakkan di meja samping kasur.
Aku mencoba terlelap. Kupejamkan mata rapat rapat
Tidak bisa. Nihil.
“Asu, lha gulingnya dipake Vania” Aku marah dalam hati.
Otakku dongkol. Aku akan susah tidur kalau tidak ada guling.
Aku mencoba merebut guling dari Vania
“Hmmm” Vania menggerutu dalam tidurnya. Pelukannya ke guling semakin erat
“Van, Van. Guling dong” Aku mencoba menggoyang goyangkan badan Vania
Dia kekeuh. Malah menggerutu lebih kencang, “HMMMMM”
“Yah, Van” Aku pasrah.
Pilihannya hanya dua. Bantal tanpa guling, atau guling tanpa bantal. Dua duanya tidak mengenakkan. Aku pilih bantal tanpa guling.
Aku kebingungan. Mencoba tidur tapi sulit. Mungkin sekitar 5 menit aku mencoba untuk menidurkan badanku ini.
Tangan kanan Vania tiba tiba bergerak. Aku sulit melihat karena gelap, tapi aku bisa merasakannya
Dia meraba raba badanku, sampai akhirnya mendarat di tangan kananku.
Diambilnya tangan kananku, dia mengajak tangan kananku ke badannya. Lalu menuntunya untuk memeluk dia. Tanganku dimasukkan ke celah antara guling dan perutnya.
Tangan kananku sudah mendarat di perutnya. Mau tidak mau aku juga harus memiringkan badanku. Vania tidak mau memberikan gulingku, tapi dia bersedia menjadi gulingku.
Perutnya rata. Tidak ada lemak. Sempurna. Lalu kucubit pelan.
Dia menggerutu lagi, “Hmmmmmmmm”
Hampir lama kami dalam posisi itu. Awkward.
Terlebih tanganku sedikit menempel ke payudaranya. Hanya sedikit, tapi aku bisa merasakan kelembutan dan kekenyalan itu. Serta posisi barang berhargaku juga menempel dengan pantatnya.
“Bang, rasa rasanya kok aku capek ya tidur terus” My little-big brother terbangun dari tidurnya
“Woy jangan sekarang dong!” Dengan cepat aku memarahinya
“Udah telat, bang!”
Gawat. Aku dan Vania menempel erat. Sedikit banyak, dia akan merasakan gumpalan keras di pantatnya. Apalagi aku dan Vania sama sama hanya menggunakan boxer.
Secara reflek aku menarik tanganku, dengan niat melepaskan pelukanku dan berganti posisi menjadi membelakangi Vania.
*deg*
Tangan Vania menahan tanganku, diarahkan lagi untuk memeluknya. My little-big brother sudah terbangun penuh. Aku pasrah. Yang hanya memberikan jarak antara aku dan Vania adalah dia. That little bastard which is my valuable item.
Vania sedikit menggelinjang. Pantatnya menyenggol penisku.
“Bang, gerah nih” Adikku sudah meronta
Adikku bingung. Aku lebih bingung lagi.
“Dhit?” Suara Vania mengagetkanku
“Ehhhh. Emmm. Apa, Van?” Aku gugup
Dia membuang tangan kananku. Dengan cepat dia berbalik ke arahku.
Bibirku dicium olehnya.
Karena masih kaget dan harus mencerna apa yang sedang terjadi, masih belum bisa membalas ciuman Vania.
Dia lalu bangun sedikit dan sekarang sudah berada di atasku. Saat ini posisinya seperti orang sedang planking, tapi menungging.
Aku akhirnya tidak tinggal diam, kubalas ciumannya, sambil kubelai rambut pendeknya.
“YEEEES. MANTAP. LANJUTING BANG!” Adikku riang. Dia sangat bersemangat
Keadaan ini membuatku bingung, serta bernafsu. Aku sudah tidak peduli
Ciuman Vania ku balas. Aku tidak mau kalah
Tidak lama Vania bangun, melepaskan bibirnya. Dia turun dari kasur
“Lah. Gitu aja?” Tanyaku keheranan
Dia diam dan terus berjalan. Rupanya dia hanya menyalakan lampu
“Gak keliatan apa apa. Gak enak”
Dia menaiki kasur lagi. Sampai akhirnya duduk di pahaku
“Do it” Senyumannya binal
Tak butuh waktu lama, kutarik dia hingga menempel di badanku. Bibir kami beradu lagi.
Lalu kami berguling. Sekarang dia berada di bawahku
Leher jenjang dan putih itu langsung menjadi sasaranku. Kubuat basah dengan bibirku. Tak lupa juga aku memainkan payudara Vania yang masih terbungkus rapi.
“Hngghh” Vania mendesah pelan
Kusingkap tanktop Vania. Sekarang tertampang indah payudara yang terbungkus bra hitam.
Vania paham. Dia menaikkan sedikit punggungnya. Membantuku untuk membuka kaitan yang membelenggu payudaranya.
Voila!
Dua mainan favorit lelaki normal sudah bebas. Mainan itu putih, kenyal, dengan puting yang berwarna pink. Indah!
Vania tanpa dikomando sudah melepas sendiri boxer dan CD nya.
Aku mencumbu bulatan indah itu tanpa ampun. Tak lupa juga aku memberikan sentuhan ke harta karun di bawah sana yang berambut jarang.
Pelan. Pelan. Semakin lama jariku semakin cepat. Berulang seperti itu terus. Pelan – Pelan – Cepat – Cepat – Sangat Cepat – Pelan – Pelan.
“Enghhh ENGHHHHH enghhhh” Erangan Vania semakin tak menentu. Semua gara gara gerakan jariku yang tak jelas temponya.
“Kok udah basah?” Godaku sambil mencium bibirnya
“Dhit, DHITOOO” Tangan kanan Vania meremas rambutku. Tangan kirinya meraba raba adikku.
Mereka bertemu. Lalu diusapnya pelan. Hingga akhirnya meremas remas. Aku juga tak tahan.
Aku turun dari kasur. Segera kubuang boxer dan CD ku. Kini hanya kaos yang menempel di badanku
Dari pinggir kasur, kuhadapkan adikku ke muka Vania. Dengan jari jari ku yang masih melanjutkan aktivitasnya di pojok sana
“Salaman dulu dong”
“Aaah” Vania hanya mendesah
Adikku dipijat pelan. Hangat.
Sebentar saja aku segera merasakan rasa hangat dan licin. Adikku sudah bermandikan air liur.
Mulut Vania meliar. Maju mundur tak beraturan, dan tak ada satu gigi yang menyenggol adikku.
Jariku masih beraktivitas, malahan kini semakin bekerja keras. Niatku hanya satu, membuat Vania squirt terlebih dahulu.
Tangan kanan beraktivitas di bawah, sedang tangan kiri beraktivitas di atas. Takkan kubiarkan ke dua tanganku berdiam diri
“Ahh ayo terus, Van. Gak nyangka kamu jadi gila kaya gini ya”
“Emmmmmm” Vania tidak bisa menjawab. Hanya erangan yang tertahan oleh adikku yang bisa keluar dari mulutnya.
Adikku dilepas olehnya.
“Enghh, Dhit. Parah. Aku udah mau keluar. Arghhh”
Aku tidak peduli. Kupercepat tempo jariku
“Dhit, Dhit. Sumpah. Dhit. ARGHHH”
Aku melepas jari jari ku dan segera aku naik ke kasur. Tidak lama aku sudah di atas Vania lagi.
Vania yang hampir lemas membuka kakinya lebar lebar, memperlihatkan vagina yang tembem dan tidak dipenuhi bulu.
Adikku sudah bersiap di posisi tempur.
“Gas. Sikat, bang!” Seru adikku yang sangat bersemangat
Aku juga tidak tahan. Kubenamkan adikku ke lubang surga duniawi milik aparat ini.
“AGH” Vania sedikit berteriak.
Kumaju mundurkan pahaku. Tidak sulit, karena Vania sudah basah karena tanganku.
Payudara Vania tak luput dari perhatianku. Kulihat mereka bergerak naik turun.
Sebelah kiri langsung aku lahap, sedang yang satunya aku mainkan menggunakan tanganku.
“Ahh, Dhit. Dhitooo.” Vania meracau sambil memainkan rambutku. “Aku udah mau keluar”.
Aku tidak peduli. Malahan makin kupercepat gerakanku.
“DHITOOOOO HNGGGHHGHHG”
Kusumpal bibirnya menggunakan bibirku
Dia mencoba berteriak.
Hanya erangan yang keluar dari mulutnya
Kurasakan adikku sudah basah, dan vaginanya makin licin.
Tangan Vania menggenggam kasur dengan erat. Rupanya dia sudah keluar
Aku mengeluarkan adikku dari dalam badan Vania.
Dia protes, “Segitu doang, bang? Belum lega nih”.
“Sabar, bangsat”. Aku mencoba mengendalikan adikku.
“Dhit, kok jadi gini sih?” Vania bertanya pelan. Nafasnya masih putus putus. Tidak lama dia tersenyum. Senyuman itu seakan menutupi rasa bersalahnya dengan kenikmatan yang telah dia raih.
“Khilaf” Ujarku bercanda “Eh, tapi aku belum keluar, Van. Gimana dong?”
Aku turun dari kasur dan mengangkat tubuh Vania
“Eh eh, Dhit. Mau ngapain?” Vania keheranan. Dia mencoba menahan aku, tapi gagal karena lelah
Aku diam. Kuangkat tubuh Vania. Sekarang Vania sudah dalam posisi menungging di pinggir kasur. Aku membuka tanktop dan bra nya. Vania pasrah, bahkan membantuku.
Tak lupa juga aku membuang kaosku.
Sekarang kami berdua sudah tidak berbusana. Sebuah hal yang terakhir kami lakukan ketika aku masih berumur 5 tahun dan dia masih berumur 4 tahun, ketika kami mandi bersama.
“Dhit, aku capek. Gak kuat” Vania memelas, tapi dia diam pasrah di posisi tersebut
“Kan aku bilang aku belum keluar” Aku berbisik lembut di telinga Vania sambil memasukkan jariku lagi ke vagina Vania
“Dhito. Ahhhh”
Aku sedikit membuka kaki Vania. Kini kubiarkan mulutku bermain di vaginanya.
Lidahku meliar. Menusuk nusuk lembut daging biadab tersebut. Sesekali menabrakan mulutku ke G-Spot nya.
Vania menggelinjang. Kakinya makin melebar
“Dhito. Ahh. Hngggg. Kita kan sepupu”
Aku tidak peduli. Lust really is blinding.
Adikku masih segar bugar. Bersiap berpetualang di dalam vagina Vania.
Kuremas sedikit pantat Vania.
*bles*
“Ahhh, Dhit. Suka suka, deh!”
Vania bertumpu pada pinggiran kasur. Sedang pinggulku mulai bergerak maju mundur.
Vagina Vania yang masih licin memudahkan adikku dalam petualangannya.
Vania hanya mengerang pelan dan lembut. Membuatku makin bernafsu.
Kini ke dua tanganku berpegangan pada payudara Vania.
Aku memainkannya sesuka hati. Tidak membiarkan mereka bergerak bebas
Hampir lama kami dalam posisi itu. Aku tidak tau. Vania juga. Kami tidak sempat melihat jam. Yang kami pikirkan saat itu hanya kenikmatan.
Lalu tibalah saat adikku menyerah. Dia sudah lelah. Sudah tidak bisa melanjutkan petualangannya
Tempo goyangan sudah maksimal. Vania hanya meringis
Tidak lama, dia keluar lagi.
“Aku keluar lagi, Dhit. Ahh. Ah. Ah. Dhito. Gak tahan. Capek. Hnggg, Ahhhh”
“Bentar lagi nih. Keluarin. Di. Mana. Van. Hnggg” Konsentrasiku buyar. Hanya terfokus pada adik dan vagina Vania.
“Muka aja biar gampang bersihinnya”
Adikku sudah di puncak kelelahan. Aku keluarkan dia dari tempat barunya.
Vania langsung membalikkan badannya. Mengarahkan adikku ke mukanya. Lalu dengan lembut dia mengocok adikku.
Bekas cairannya memudahkan dia dalam melaksanakan tugas terakhirnya. Tak sadar aku mengerang
“Enghhhh, Van!”
*crot*
Muka cantik Vania kini penuh oleh calon anak anakku yang terbuang.
Aku masih tersengal sengal. Sedang Vania masih membersihkan adikku sambil memijatnya dengan lembut.
“Dhito. Kita ini sepupu. Terus sekarang mukaku banyak spermamu” Masih saja Vania menutupi rasa penyesalan dengan senyum kenikmatan itu.
“Diulang terus, reeek” Balasku sambil meremas payudaranya.
“Thanks, Dhit” Vania tersenyum binal
Aku hanya membalas dengan senyuman puas.
Vania berdiri dan beranjak keluar dari kamar
Aku berbaring di kasur. Perasaanku puas.
Serta kebingungan.
“What the fuck? Is this real? Or is it just fantasy?”
Aku sangat bingung, tapi tidak peduli.
“Yaudah sih, bang. Santai aja. Asal enak ini kan? Aku tidur dulu ya, bang. Dadah”
“Iya juga sih, bro. Bodo amat deh ya”
Kulihat Vania sudah kembali. Mukanya masih basah
Dan masih tidak berbusana
Sungguh, Vania terlihat sangat sexy. Badannya sangat sempurna. Putih, bersih, tidak ada cacat sama sekali. Mengingat dia adalah seorang aparat.
Aku melamun melihatnya.
“Tadi padahal udah jungkir balik sama aku. Kenapa sekarang keliatan kaget gitu liat aku gak pakai baju?”
“Emang bener, ya. Ternyata badan aparat itu selalu bagus haha”
Vania hanya mengernyitkan dahinya.
Aku beranjak dari kasur dan mendekati dia.
“Cium dulu dong” Aku menggoda Vania sambil menyodorkan pipiku
*plak*
“Asu. Malah ditampar”
Vania berjalan menuju kasur lalu merebahkan tubuhnya.
Aku mencari pakaianku yang tadi berserakan. Lalu segera kupakai kaos yang sudah terlempar di pojok kamar.
“Eh. Gak usah dipake lagi kaosnya”
“Lah. Ngapain, Van” Tanyaku keheranan
“Kamu gak mau naked cuddling?” Kedipan mata itu menggodaku
“Nice idea!”
Aku mematikan lampu dan berjalan ke kasur. Merebahkan tubuhku disampingnya.
“Kok kita gini sih, Dhit?”
“Ya siapa dulu yang mulai jancok”
“Hihihihihi kok kasaaaaar” Suara lembutnya berusaha menggodaku
Vania memiringkan tubuhnya, dan memeluk tubuhku.
Kini badan kami menempel lagi, tanpa ada sehali benang. Payudaranya yang kenyal menempel erat dengan dada sebelah kiriku.
Aku tidak peduli. Aku lelah, begitu pun adikku.
Kuambil handphone di meja. Kulihat jam sudah menunjukkan jam setengah 3 pagi.
Selama itu kami berpetualang mencari puncak kenikmatan.
“Dhito, ayo tidur” Vania menciumiku.
“Iya iya”
Vania makin erat memelukku. Tanganku juga makin erat merangkulnya.
Tak lama, kami pun tertidur. Tenggelam di lautan mimpi yang tidak ada habisnya.
*drrrt* *drrrrrt* *drrrrrrrtttttt*
*sluurrp*
*drrrt* *drrrrrt* *drrrrrrrtttttt*
*sluurrp*
“Engghh. Enggggghhhh” Suara erangan wanita mencoba membangunkanku.
Mataku belum full membuka. Begitu juga dengan nyawaku yang masih belum penuh.
Pagi ku dibangunkan oleh kebingungan. Bingung antara telepon masuk di handphoneku, atau sensasi hangat di pangkal pahaku.
*drrrrrt*
*Incoming call Pakde Sugeng*
Pakde Sugeng, papa Vania menelpon. Awkward.
Aneh juga jika aku mengangkat telepon pakde Sugeng, sedangkan anaknya, seorang wanita kebanggaannya, sedang bermain main dengan penis pria dewasa yang bukan suaminya.
“Halo, pakde? Aku baru bangun” Aku mencoba berbicara dengan pakde. Dengan nyawa yang belum penuh, serta dengan menahan segala sensasi kenyamanan di bawah sana.
“Duh. Mentang mentang libur. Udah siang ini”
“Walah, pakde. Masih jam 7. Kenapa pakde?”
“Vania mana? Kok pakde telepon gak ngangkat”
“Engh. Aaaah” Tanpa sadar aku mengerang pelan.
“Heh, kenapa kamu?”
Aku gugup. “Engg, enggak, pakde. Biasa, abis ngulet. Engg, itu. Kayaknya Vania masih mandi, pakde.”
Tidak. Vania tidak sedang mandi. In fact, dia sedang “memandikan” adikku.
“Hoalah yaudah. Tolong bilangin kalo pakde bude gak jadi pulang hari ini. Ada tugas dadakan ke Kupang. Pagi ini langsung berangkat. Titip Vania dulu. Bilangin Senin baru dijemput. Yaudah gitu aja. Pakde mau boarding”
“Engghh. Iya. Pakde. Nanti aku kasih tau. Si. Vania” Mulut Vania membuatku terbata bata.
*tuuuuuuuut*
Mulut kecil Vania masih bermain main. Tangannya membantu melancarkan aksinya. Mereka bersatu untuk menghajar adikku.
“Aduh, Vaan. Arghhh. Aah. Hnggg” Aku meracau tidak karuan. Yang bisa kulakukan saat ini hanya meracau dan memainkan rambut Vania.
Vania masih belum berpakaian. Nampaknya dia juga baru bangun.
Payudaranya menggoda. Dengan sigap tanganku beralih dari rambut ke payudaranya.
Tanganku sekarang bermain dengan bola bola favoritku. Tidak jelas kekuatan remasanku. Kadang lembut, kadang keras.
“Van. Ahhhh”
“Hnggggg” Vania hanya menjawab dengan erangan. “Hnggg. Aaaaah”
Vania melepaskan mulutnya. Mengocok adikku dengan lembut, lalu tersenyum.
Sesaat, aku terkesima dengan senyumannya. Kali ini entah kenapa tidak terlihat senyuman binalnya. Hanya senyuman sangat manis yang keluar dari wajah cantiknya.
Dia melanjutkan lagi aktivitas mulutnya.
Dimasukkan lagi adikku ke mulutnya. Kini kepalanya naik turun semakin cepat.
Aku mengerang makin tak karuan. Payudaranya semakin keras pula aku remas.
“EGHHHH”
*crot*
Vania tidak bergerak.
Secara perlahan dia melepaskan adikku. Spermaku sedikit meluber dari bibir sexy nya.
“Hihihihihi” Kini wanita ini tertawa kecil sambil mengusap ngusap sisa sperma yang masih menempel di sekitar bibirnya.
Dia bergerak turun dari kasur. Membuka kopernya dan mengambil handuk, serta peralatan mandi lainnya.
What a nice thing to start my day
08.30
Kami semua sudah mandi. Duduk depan TV sambil menonton video tidak jelas yang ada di youtube.
Makanan yang dimasak Vania sudah siap kami lahap. Nasi putih, ayam goreng, bumbu pecel, dan kerupuk.
Aku tidak tahu darimana dia mendapatkan bumbu pecel. Yang pasti, ini enak sekali.
“Kamu gak cuman ngulek adik aja ya yang pinter. Ngulek bumbu pecel juga pinter”
Wadah kerupuk langsung mendarat di badanku. Vania tidak peduli meskipun berantakan, dia lalu melanjutkan makannya
“Eh, tadi papa nelpon kenapa?”
“Cuman ngabarin aja. Katanya gajadi jemput hari ini. Senin besok baru dijemput. Orang tua mu tugas dadakan ke Kupang. Tadi abis nelpon langsung boarding”
Muka cantik Vania langsung terlipat. Dia langsung murung. Diletakkan begitu saja piringnya di meja. Aku panik
Orang tua Vania adalah peneliti senior di Lembaga yang mengelola flora dan fauna. Mereka sering sekali berpergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri juga. Sama seperti orang tuaku. Bedanya, orang tuaku sebulan sekali perginya, sedangkan orang tua Vania sebulan sekali berada di rumah. Itupun hanya 5-7 hari saja. Dan ada beberapa momen yang orang tua Vania hanya sehari dua hari saja di rumah.
Vania berdiri. Pipinya basah.
Dengan sigap kutaruh piring di meja. Aku menghampirinya dan langsung memeluknya.
“Ayo dong. Kok nangis. Gak boleh nangis he. Aparat harus kuat, gak boleh nangis” Aku mencoba menenangkannya.
Pelukan Vania makin kencang, begitu juga dengan tangisnya. “Aku ada kesempatan pulang seminggu, pengenku biar ketemu lama sama mereka. Janjinya hari ini dijemput. Janjinya bakal ninggalin kerjanya seminggu. Kok sekarang malah ke Kupang”
“Kan mereka kerja. Demi kamu sama adek mu. Mereka begitu dari lama, sekarang liat hasilnya. Kamu udah jadi aparat. Adekmu kuliah di London” Aku masih berusaha menenangkannya
Tangisnya makin menderu.
Aku kebingungan.
Aku bisa merasakan kesedihannya. Aku bisa merasakan tangisnya.
Vania sebenarnya berempat di rumah. Dia, adik lelakinya yang berusia 3 tahun di bawahnya. Serta orang tuanya. Namun apa daya, semenjak dia SMP. Orang tuanya sudah mulai berpergian ke sana ke mari. Meninggalkan Vania dan adiknya di rumah. Orang tuanya sudah menyiapkan segala sesuatu ketika mereka mulai sibuk. Dari pembantu, supir, serta orang kepercayaan yang selalu menjaga rumahnya ketika malam hari. Masalah uang, tidak perlu takut. Selalu mengalir. Antara uang jajan dan uang dadakan, nominalnya sama sama besarnya.
Tapi semua itu masih terasa kecil oleh anak anaknya.
Mereka harusnya tau kalau anak anaknya membutuhkan mereka, tidak hanya harta benda saja.
Jika dalam masa libur sekolah. Maka Vania dan adiknya akan sering berkunjung ke rumah saudara. Salah satunya adalah rumahku. Tidak sekali dua kali aku melihat wajah cemburu dari Vania dan adiknya ketika melihat aku atau saudara yang lain sedang bercengkrama dan bercanda dengan keluarga.
Mamaku sering memarahi kakaknya agar Vania dan adiknya sekolah di kotaku saja. Tapi mereka selalu tidak mau. Takut merepotkan katanya. Dan akhirnya ibuku bosan memarahi kakaknya.
Coba tebak kenapa Vania lebih memilih menjadi aparat, dan adiknya memilih kuliah di London? Ya. Karena mereka sudah cukup dewasa. Mereka sudah bosan ditinggal orang tuanya. Akhirnya mereka membalasakan dendam mereka.
Balas dendam yang salah.
Sekarang Vania sudah menjadi aparat yang sibuk, yang sering bertugas ke sana ke mari, begitu juga dengan orang tuanya. Serta adiknya yang saat ini menempuh pendidikan di London. Makin kecil intensitas keluarga ini bertemu dan bercanda.
Dan yang aku tahu, rumah Vania tidak pernah kosong. Pembantu dan supir mereka masih ada di rumah itu. Sungguh loyal sekali.
“Kalo gini kan percuma aku pulang” Vania masih saja menangis
“Ya enggak lah. Kan Senin nanti dijemput. Udah ah jangan nangis. Kaosku basah ini. Iya kalo kena air mata, lha ini kena ingusmu juga” Kulepas pelukanku. Aku mengajak dia duduk di sofa. “Udah ya. Stop nangisnya.”
Aku mencoba menghibur Vania. Mencoba menularkan senyumnya ke dia.
Dia tersenyum kecut. Tangisannya sudah mereda. Sekarang dia duduk bersandar. Pikirannya sudah melayang entah ke mana.
Piring dan peralatan makan lainnya segera ku bereskan. Ketika kembali ke Vania aku sudah membawa air putih dingin dan tisu.
“Monggo, ndoro. Diminum dulu” Aku masih mencoba menghiburnya
Dia tersenyum. Kali ini senyumnya sangat manis.
Vania membalas hiburanku dengan kecupan manis di pipi.
Aku tak peduli. Kubiarkan dia menenggak minumnya, sambil aku bersihkan sisa air mata dengan tisu.
Gelasnya ditaruh di meja. Mata kami bertemu. Lalu sebentar saja kami berciuman.
Manis sekali rasanya.
“Ayo jalan jalan” Mata dan suaranya yang sayu menghipnotisku
“Yaudah sana cuci muka trus ganti baju. Males banget jalan jalan sama anak baru nangis. Yang ada aku dikira nyulik kamu” Aku segera berdiri dan menuju kamarku.
10.00
Kami sudah siap. Mobil sudah menyala. Tinggal menggeser kopling serta menginjak gas, maka kami akan meninggalkan istanaku.
“Mau ke mana?”
“Terserah” Jawab Vania tidak peduli sambil memainkan handphone nya.
Vania kembali sexy. Celana hitamnya mencetak kaki jenjangnya. Atasannya dibalut dengan tanktop putih dan cardigan hitam.
Damn.
Aku mencoba tenang. Untuk saat ini, fokusku hanya menghibur wanita yang sebenarnya cengeng ini, namun selalu mencoba tegar dengan kerasnya hidup yang dihadapinya.
Kulaju mobilku ke arah tol. Aku berencana mengajak dia berkeliling kota sebelah.
17.00
Sudah seharian ini Vania aku ajak berkeliling kota ini. Kami sudah berkunjung ke banyak tempat. Sudah tak tentu lagi arah mobil ini berjalan.
“Nonton yuk”
“Hah? Nonton apa?”
“Nonton ini aja”
“Film apa itu?”
“Gak tau deh. Liat nanti aja sih. Ini semua film yang ada di bioskop udah aku tonton semua di Makassar”
“Bayarin ya. Gantian”
“Iya gampang. Eh tapi nonton di mana?”
“Kalau di sini sih mall paling deket ya Mall A”
Vania lalu sibuk dengan handphone nya. Kiranya dia sedang mencari film yang akan kami tonton.
“Udah nih. Langsung yang jam 17.45. Cepetan ngebut”
“Siap, laksanakan!” Mobil lalu kulajukan ke arah mall tersebut.
Tidak butuh waktu lama. Hanya 10 menit saja kami sudah sampai di sebuah mall elit di kota ini.
Kami berjalan memasukki mall. Sangat ramai. Aku baru ingat ini long weekend.
Kulihat orang orang yang di sana sangat wow. Pria, wanita, tua, muda, semuanya tampil modis.
Vania bagiku cantik, ditambah dengan badan sexy nya, tapi tidak ada pria lain yang memandangi dia. Lagipula buat apa memandangi Vania? Sedangkan pria pria di sini gandengannya lebih cantik dari Vania.
Berbeda jika aku membawa Vania masuk ke mall yang ada di kotaku. Tidak hanya memandangi, bisa bisa Vania diikuti oleh mereka.
17.40
Kami memasukki bioskop. Hanya beberapa orang yang ikut masuk.
Yang mengherankan, kami dapat kursi row A, di atas sendiri. Ini long weekend, dan Vania membeli tiketnya last minute.
Kami berada di atas tengah. Kulihat kanan kiriku, kosong. Satu baris di dalam sini, hanya ada kami berdua. Sisanya berada di bawah.
18.00
Sudah hampir 30 menit film berjalan, tapi bioskop masih sepi.
Sekarang aku tidak heran. Ternyata film ini sangat tidak jelas. Aku bahkan tidak tahu sedang menonton apa
“Van, kenapa milih film ini sih? Film gak jelas gini” Aku berbisik pelan ke Vania
“Hihihihih biarin lah. Anggep aja membantu karya bangsa” Vania tertawa pelan lalu memeluk lenganku.
Kini lenganku dimanjakan dengan sentuhan hangat payudaranya.
Aku merasakan kekenyalan itu. Vania memelukku makin erat.
Sesaat mata kami bertemu.
Kami berciuman lagi.
Entah bagaimana sekarang tanganku sudah memasukki tank topnya. Memberikan kehangatan sesaat ketika tanganku bertemu dengan perut Vania.
Tanganku bergerak semakin ke atas. Vania pasrah. Kami sudah tidak memperdulikan film ini.
Aku meremas pelan payudara Vania. Samar samar kulihat Vania memejamkan matanya.
Bibir kami bertemu. Saling membasahi satu sama lain.
Sekarang tangan kami tidak ada yang berdiam diri. Tanganku di payudaranya, tangannya sudah menggosok pelan pangkal pahaku.
Seakan akan dia sedang menggosok lampu ajaib, dan memanggil jin kecilku untuk keluar.
“Van, pulang aja yuk?”
Aku mengajaknya pulang, karena:
1. Filmnya tidak jelas
2. Aku sudah tak tahan
“Yaudah ayo, Dhit.”
Kami segera berdiri lalu bergerak keluar dari bioskop.
18.20
Sebenarnya ini masih sore bagiku. Namun menurutku lebih baik pulang saja.
Belum ada 10 detik pantat kami bertemu dengan jok mobil, tangan Vania sudah mencoba membuka celanaku.
“Eh eh, Van. Jangan di sini. Kamu gak lihat ini lagi rame?”
“Hihihihihihi” Vania hanya tertawa kecil, dengan tetap meremas remas adikku dari luar celana.
Mobil kukebut. Aku susah fokus, hanya karena tangan Vania yang sedikit nakal.
Sesampainya di jalan tol, aku meminggirkan mobilku.
Kaca aku buka sedikit, serta kunyalakan lampu hazard.
Tol ini adalah tempat yang sangat tepat untuk kondisi mendesak seperti ini. Jalanannya gelap. Ditambah lagi entah kenapa sangat jarang kendaraan yang lewat.
“Ngapain, Dhit?”
Aku diam. Tapi kini celanaku sudah melorot. Adikku yang dari tadi terkurung, kini sudah merdeka.
“Nih, biar enak sekalian.”
“You know me so well, Dhit.” Suara sexy nya makin membangunkan adikku.
Dengan kerelaan Vania ikut membuka celananya. Menampakkan lipatan indah itu.
Mobil kujalankan lagi.
Kini hanya perlahan. Tidak ngebut seperti tadi.
Tangan Vania sudah bermain main dengan adikku. Meremasnya, memijatnya, hingga akhirnya mulutnya yang bertugas.
Aku berusaha fokus menyetir. Meski terkadang ada kalanya aku sedikit oleng karena mulut Vania yang sangat mahir.
Tiba tiba Vania berhenti. Dia memandangiku dengan raut muka marah.
“Terus percuma dong aku buka celana?”
“Oh iya ya. Eh, tapi kan aku lagi nyet-“
“Gak peduli!”
Aku pasrah. Aku benar benar dimarahi oleh seorang aparat.
“Siap, laksanakan!”
Mobil sudah aku set ke gigi 4, berjalan pelan, dan berada di lajur kiri. Pikirku agar tidak repot repot memindahnya.
Badan Vania langsung menggelinjang ketika jariku bertemu dengan vaginanya. Dan aku langsung sedikit oleng ketika mulutnya mulai membasahi adikku lagi.
Aku tau, sebentar lagi kami sudah harus keluar dari pintu tol.
Gerakkan jariku sudah dalam posisi maksimal.
Masih satu jari.
“Enghhh” Erangan Vania masih pelan.
Kutambahkan satu jari lagi.
“Enghhhhhhhhh” Masih pelan, tapi mulai panjang
Terakhir, total 3 jari yang memuaskan birahinya.
“ENGHHHH. ENGHHH. ENGHHHH” Erangan Vania sudah tak beraturan. Begitu juga dengan mulutnya. Tidak jelas pula tempo kulumannya
“EEGNNNHHH. HMMM. ENGHHHHHHHHHH”
Mobilku penuh dengan suara Vania.
Adikku sudah kegelian dengan tempo permainan tak beraturan yang diberikan Vania.
Aku dan adikku sudah tak tahan.
“Van, keluarin bareng ya. Udah mau nyampe nih”
“He eh”
Vania mempercepat permainannya. Tanganku tak mau kalah
Tanganku terasa basah. Deras sekali air kenikmatan yang dikeluarkan Vania. Begitu juga denganku.
Muntahan yang dikeluarkan adikku langsung ditampung Vania. Lalu kami sama sama mengerang puas.
“Ahhhhhhhh”
“Hnggggg”
Sialan. Sekarang tangan kiriku seperti mati rasa.
Mobilku sudah mendekati pintu tol. Tapi celanaku masih melorot, masih memperlihatkan adikku yang sedang tertidur pulas.
“Woy pake dulu celananya hahahaha” Vania menggodaku
“Ribet, su. Biarin lah”
Untung saja sekarang pintu tol sudah otomatis. Aku tidak perlu repot repot merapikan celanaku kembali.
Kini aku sekarang sudah bisa fokus mengemudikan mobil ini. Sampai sampai aku masih sempat memutar lagu.
19.30
Kami sudah sampai di depan rumah. Lalu kuminta Vania turun untuk membuka pagar.
Aku tidak mau kerepotan lagi. Celana kulepas sekalian.
Setelah pagar tertutup lagi, aku keluar dari mobil, tanpa memakai celana.
Vania hanya tertawa.
Kami masuk ke kamar. Aku merebahkan diriku di kasur. Sedang Vania membongkar isi kopernya.
“Siapa dulu yang mandi, Van?”
“Kamu aja duluan”
“Apa barengan aja, Van?”
“Males. Aku mau self-care dulu. Pasti lama”
Sedikit kecewa sebenarnya. Tapi tak mengapa.
Kulepaskan kaosku. Lalu berjalan ke kamar mandi. Sebentar saja melangkah, aku berhenti lagi.
“Eh, Van. Bikinin kopi dong hehe” Sebuah permintaan yang tidak serius.
Tidak dijawab oleh Vania. Malahan dia hanya memandangiku dengan tatapan marahnya.
Aku tertawa kecil.
19.45
Kini aku sudah segar kembali. Hanya memakai boxer tanpa CD, dan kaos oblong.
Aku duduk di kasur. Kulihat ada beberapa chat dari temanku. Belum sempat membuka chat tersebut, kulihat Vania masuk ke kamar.
Masih menggunakan tanktop putihnya, tapi celananya sudah tidak ada, berganti dengan handuk yang sudah dililitkan ke perutnya.
Aku keheranan, bukan karena pakaiannya. Namun karena sebuah gelas yang dibawanya.
“Nih kopinya”
Damn! Permintaanku benar benar dikabulkan oleh dia.
Segelas kopi hangat sudah mendarat di meja kamarku.
“Mantap. Dibikinin beneran dong”
“Apaan sih”
Vania melangkah keluar kamar.
“Thanks, baby.” Dan sebuah tamparan halus mendarat di pantatnya.
Dia tidak peduli, tetap melanjutkan langkahnya.
Kuseruput sedikit kopi ini. Membiarkan zat zat caffeine merasuki tubuhku.
Nikmat sekali.
*drrrrrt*
*Hakim sent a message*
Segera kubuka chat dari temanku ini, yang tadi sempat terhenti karena Vania.
“Dhit, kamu di mana sih? Dichat daritadi kok gak respon?”
Aku ingat. Malam ini aku harus menyelesaikan lagu dengan gitarisku ini. Meskipun sebenarnya tidak perlu, karena kemarin malam sudah aku selesaikan. Tapi tak mengapa.
Untung saja sekarang sudah ada teknologi. Meskipun Hakim sedang di Jakarta, tapi kami masih bisa berlatih bersama.
“Bentar, broooooo. Seharian ini ada urusan. Bentar bentar. Nanti jam 9 aku telepon. Aku makan dulu.”
“Wooo, asu. Yaudah. Nanti langsung telpon aja”
“Siap, broooooo”
Alat tempurku kunyalakan. Agar nanti tidak repot menyalakan lagi.
Aku lalu memesan makanan. Langsung saja memesan dua porsi. Pikirku Vania pasti lapar juga. Kalaupun tidak, bisa buat besok pagi.
Vania masih di kamar mandi. Memang benar apa yang dia katakan. Mandinya bakal lama.
20.00
Akhirnya makananku datang. Aku menghampiri salah satu pahlawan tanpa tanda jasa ini.
Ketika aku kembali masuk, kulihat Vania sudah duduk manis di ruang tengah sambil memainkan handphone nya.
Yang menarik, kali ini dia hanya memakai CD dan tanktop saja. Tanpa bra.
“Ini makan dulu”
“Yeaaaaaay. Padahal aku mau ngajak beli makan”
Kami memuaskan perut. Diselingi dengan obrolan dan candaan kecil. Yang kebanyakan membahas masa kecil kami.
Setelah apa yang kami lakukan dua hari ini, aku hampir lupa kalau Vania ini adalah sepupuku.
10 menit kemudian kami sudah selesai makan. Disertai kopi buatan Vania, obrolan kami masih berlanjut.
Dari masa lalu kami, pekerjaan kami, kisah asmara kami, sampai hal remeh temeh seperti kenapa ayam kalau berkokok matanya merem?
Ada yang tahu?
Karena sudah hafal liriknya
*drrrrrrt*
Handphone Vania bergetar. Kulihat ada video call masuk.
Vania mengangkat dengan riang. Rupanya itu video call dari sahabatnya yang ada di Makassar.
Mereka mulai mengobrol. Dan aku beranjak ke dapur, membuka kulkas, mengambil air dingin, lalu berjalan ke kamar.
Hampir saja aku menelpon Hakim, dia dulu yang menelponku.
“Udah apa belum?”
“Kan masih jam 8.45 ini, broooooo. Gimana seh.”
“Asu, lebih cepat lebih baik ini”
“Iya, iya. Lha ini lho tadi aku udah mau nelpon kamu”
Aku memberi dia kejutan. Dia terdengar sangat girang karena aku sudah berhasil menyelesaikan laguku. Atau lebih tepatnya, lagu kami.
Hakim memberikan beberapa perubahan. Aku menuruti dengan seksama.
21.30
Aku dan Hakim masih fokus dengan kegiatan kami. Mencoba membuat lagu baru.
Tiba tiba Vania masuk ke kamarku.
“Dhit, sibuk?”
“Lha kamu lihat ini aku ngapain, Van?”
Vania diam mematung di pinggirku. Terlihat adanya kebosanan dan sedikit kekecawaan di raut mukanya.
Dari seberang sana, Hakim pasti mendengar suara Vania.
“Ada siapa, Dhit?”
“Ini, sepupuku.”
Kami melanjutkan perang ide kami.
Tiba tiba..
Vania berjalan mendekatiku. Tanpa aba aba dia langsung meremas adikku. Kulitnya yang lembut langsung membuat darahku berdesir.
Aku tersentak. Proses pembuatan lagu ini tidak bisa berhenti begitu saja. Hakim masih meneruskan ide idenya.
Vania tersenyum binal ke arahku.
Dia memaksa membuka boxerku dari pinggir kursi. Aku pasrah. Adikku langsung terpampang jelas, dan masih tidur.
Sentuhan halus tangan Vania perlahan membangunkannya.
Aku berusaha tenang. Tapi tetap saja, akan selalu sulit.
Adikku sudah terbangun. Kini dia sudah berdiri tegak.
“Hihi” Tawa kecil Vania diikuti dengan kocokan halus ke adikku.
Dia begitu menikmati mainan barunya. Dimaju mundurkan tangannya. Terkadang aku tersentak maju ketika dia mempercepat.
Setelah cukup puas bermain dengan tangannya, Vania langsung berjongkok.
Adikku langsung dilahap olehnya.
“ENGH!” Gerakkan tiba tiba itu mengagetkanku.
Hakim juga kaget “Kenapa, Dhit?”
“Eh, ennghh. Enggak, Kim. Aggh. Kakiku kepentok meja” Mulut Vania yang bermain main membuat aku lupa diri, hingga tidak sempat membuat kebohongan yang rasional.
Hakim nampaknya tidak peduli. Dia masih melanjutkan teori teori gilanya.
Vania makin liar. Tempo gerakan kepalanya makin cepat. Naik turun tidak karuan. Terkadang dia berhenti untuk mengocoknya.
Dibantu dengan air liurnya, tangan Vania makin mudah bermain main dengan adikku.
Dia tertawa puas karena berhasil menggodaku. Sedang aku merem melek menahan kegilaan anak ini.
Aku tak bisa konsentrasi. Jari jariku seakan lupa bagaimana cara bermain keyboard. Ocehan Hakim tidak aku dengar.
Hanya “Oh, iya” “Oh, oke” “Keren” saja yang bisa keluar dari mulutku.
“Surprise, Dhit”
Aku langsung menatap Vania yang sudah berdiri.
Dia diam. Lalu tangannya membuka CD nya.
Sekarang dia hanya memakai tanktop saja.
“Aduh, Van. Kenapa sekarang” Gumamku dalam hati.
Sedikit sedikit aku masih merespon omongan Hakim. Aku sudah tak peduli dia berbicara apa. Yang kupikirkan saat ini hanyalah kenapa anak ini jadi gila seperti ini.
Vania memundurkan kursiku. Menjauhkanku dari keyboardku.
Untung saja headsetku agak panjang. Meskipun dalam kondisi seperti ini, aku masih bisa berkomunikasi dengan Hakim.
“Enghhh, berat, Van” Aku berbisik pelan
Anak gila. Sekarang dia duduk di pahaku. Dia paham jika kursiku agak lebar. Kondisi tersebut masih bisa memberi ruang untuk kakinya bertumpu.
Kini kelamin kami bertemu. Dia tertawa menggoda. Leherku diserang menggunakan bibirnya.
Digesek gesekkan vaginanya ke adikku. Membuat adikku terhimpit dalam kondisi geli.
Masih saja dia begitu. Alih alih berhenti, sekarang dia melumat bibirku.
“Gimana menurutmu, Dhit?”
“Engghh. He em” Aku bisu sesaat karena ulah Vania.
“Berarti oke, ya?”
“He em. Aaahhhh” Aku mengerang pelan
“Ngapain, Dhit?”
Segera kulepas ciuman Vania, “Anu, abis ngulet”
Kudengar dia sekarang memainkan gitarnya. Jari jari berbakatnya menari indah di fretboard gitar mahalnya.
Vania mengangkat tubuhnya. Adikku diarahkan masuk ke vaginannya.
“ENGGGG!”. Aku menunjukkan muka panik.
Aku menunjuk hardcase keyboardku, lalu berbisik pelan “Buka itu”
Vania turun dari pangkuanku, berjalan ke arah hardcase dan membukanya.
Sesaat dia langsung menoleh ke arahku dan tersenyum.
Diambilnya simpanan kondomku dan langsung dibuka.
Aku sadar, memakai kondom adalah hal yang tepat. Dalam kondisi seperti ini, akan repot jika ketika klimaks aku harus turun dari kursi. Sedangkan aku masih ada urusan lain dengan Hakim. Jadi nanti ketika klimaks, aku akan langsung menyemprotkan spermaku ke dalam vagina Vania, tanpa takut dia akan hamil.
Vania beraksi lagi. Adikku dibasahinya sebentar. Lalu memakaikan dia “baju”.
Setelah siap, Vania langsung duduk di pangkuanku lagi. Perlahan menggesekkan kelamin kami. Lalu dia mengangkat pantatnya.
*bles*
“Anghhh” Aparat cantik ini mengerang pelan. Sedang aku masih berusaha menahan konsentrasi.
Untung saja Hakim masih sibuk dengan gitarnya. Kurasa dia tidak mendengar erangan Vania.
Adikku sudah masuk ke dalam tubuh Vania. Rasanya hangat sekali.
Tanktop yang sedari awal membelenggu harta karun itu langsung aku singkap ke atas.
Kini terpampang nyata dua bulatan sempurta itu.
Mulutku tak tinggal diam. Puting Vania menjadi sasaranku.
Kini bulatan kecil itu basah karna liurku. Vania mengerang lagi.
“Hnggggg”
Gerakannya makin cepat. Lumatanku bertambah liar.
“HNGGGGG, DHIT”
Kami sama sama menikmati posisi ini.
Remasan remasan halus tidak lupa aku berikan ke payudara Vania.
Kini bibirku beralih ke bibirnya.
Kucium pelan bibir manis itu. Nampaknya dia menyukainya
Tanganku meraih keyboardku. Aku bermain mengikuti permainan Hakim. Sedikit banyak agar Hakim tidak curiga dan akan berfikir kalau aku masih mengikuti latihan kami ini.
Kebetulan sekali aku dan Hakim bermain lagu yang temponya sangat pelan. Dengan nuansa relaxing.
Sangat tepat untuk mengiringi dua insan yang mengadu nafsu.
Bibirku masih menyerang bibir Vania. Kini dia memperlambat tempo geraknya. Sangat pelan. Kami terbawa suasana.
Romantis sekali.
“Mhhhh. Hnggg” Erangan lembut Vania menambah gairah malam ini.
Kami masih dengan posisi yang sama, dengan tempo gerakan yang sama.
Kudengar Hakim sudah berhenti bermain. Aku dengan sigap melepaskan bibirku.
“Mantap, Dhit. Enak, ya, lagunya”
“Eghh. Iya enak bro”
“Kayaknya minggu depan aku pulang. Nanti kita langsung take aja”
Aku tidak sempat menjawab. Vania tertawa kecil.
Lalu mempercepat gerakan pinggulnya.
“Hnggggg, aah. Eh, iya, Kim. Langsung. Take. Aja. Aaaghhh”
“Kamu gapapa, Dhit?” Hakim kebingungan mendengar aku yang mengerang pelan dan terbata bata.
“Iya. Iya. Bro. Ngulet lagi”
Aku dan Hakim masih melanjutkan obrolan kami, tetap dengan jawaban jawaban singkat dariku.
Vania makin liar. Dia mempercepat gerakannya. Payudaranya langsung aku lahap
“Engh” Aku tersentak karena gerakan refleksnya
“Engggh, enghhh, nghhhhh, aaah, aaah” Vania lalu mengerang lembut, tapi aku yakin Hakim bisa mendengarnya.
Hakim setengah berteriak “Dhit, asu. Suara apa itu?”
Kini payudara Vania aku biarkan bergerak bebas untuk sementara.
“Hah? Ah. Ah. Apa. Kim?”
“Kok ada suara cewek desah?”
“Oh. Engghh ah. Itu. Sepupuku. Lagi liat Anime” Aku menjawab sekenanya.
“Terus kamu ngapain ngos ngosan?”
Memang tidak mungkin Hakim tidak mendengar erangan Vania.
Alih alih memelankan gerakannya agar aku fokus berbicara dengan Hakim, dia malah mempercepat lagi gerakannya. Tanpa ampun, hingga membuat aku kewalahan
“Enggak. Kim. Ini. Apa. Nghh. Ah. Kamarku panas. Banget”
“Gak jelas anak ini”
Vania masih melanjutkan gerakannya. Kini semakin cepat. Ngebut tanpa ampun.
Tanganku memegangi pantatnya. Sesekali meremas lembut pantat tersebut.
“Kim. Ini. Udah selesai. Kan? Ahh”
“Udah, kok.”
“Lanjut besok lagi, ya? Ahhh. Aku ngantuk. Banget”
“Iya, deh. Kamu inget, kan?”
“Inget banget kok, Kim” Padahal sebenarnya tidak. Bukan hanya tidak ingat “Yaudah, ya. Lanjut besok”
*tuuut*
Telephone kumatikan. Headset kulepas.
Kini aku berfokus ke wanita gila ini.
“Udah teriak aja kalo mau” Aku berbisik pelan ke Vania. Tapi dia tidak menggubris. Dia terlalu fokus pada gerakannya.
“Hngg. Hnggg. Ah aaah” Erangan manjanya keluar.
Payudara indah itu masih bergerak bebas. Aku merasa kasihan. Mereka pasti lelah.
Aku tangkap sebelah kiri menggunakan mulutku. Yang sebelah kanan aku tahan menggunakan tanganku.
Kugigit lembut putingnya. Vania mengeraskan erangannya.
“AAAAAAAAAH. NGHHHHHHH” Kecepatan Vania sudah maksimal.
*kriit* *kriit* *kriit*
Suara rintihan kursiku mulai terdengar. Kurasa kursiku juga sudah tidak sanggup menahan beratnya dua insan yang sedang mengadu kelamin.
Aku merasakan kedutan di dalam vaginanya. Adikku juga bersiap untuk muntah.
“Van. Ah. Nghh. Keluarin ya”
“HNGGG. NGHHH. HE EH”
Seketika kurasakan pahaku basah. Sepupuku kesayanganku ini diam lemas. Badannya langsung ambruk ke pelukanku.
Adikku sudah lemas. Tapi masih terperangkap dalam tubuh Vania. Kini sekujur tubuhnya basah oleh muntahannya sendiri.
“Dhitooo. Ahhhhhhhh.” Vania mengerang puas.
Aku memeluknya agak lama. Menciumi rambut pendeknya. Sesaat kubiarkan dia tertidur.
Setelah kupastikan dia tertidur, aku menggendongnya dan merebahkan badannya di kasur.
Vania tergolek lemas. Lalu muncul senyum di wajahnya.
Kupandangi sebentar wanita ini.
Wajahnya yang cantik, serta tubuhnya yang pas.
“Goodnight, Van.” Kucium lembut pipinya. Setelahnya dia langsung memeluk guling, membalikkan posisi tubuhnya, dan sekarang sudah memunggungiku.
Lampu kumatikan, lalu aku berjalan keluar kamar. Tidak lupa botol minum, rokok, korek, dan kopi yang sudah dingin aku angkut. Kulihat jam di handphone menunjukkan pukul setengah 1 pagi.
Aku berjalan ke arah taman.
Langit malam itu mendapatkan penonton baru. Seorang pria yang sedang kebingungan akan apa yang sedang dia alami.
Pria itu menjatuhkan tubuhnya di kursi taman, menyalakan rokoknya, dan membiarkan asapnya berbaur dengan langit malam.
Dia bergumam, “No, this can’t be happening. This isn’t real”
Bumi sudah menyelesaikan rotasinya. Sedang aku baru saja mulai membakar rokok terakhirku.
Aku masih tidak percaya, setelah apa yang aku alami selama 2 hari ini. Tanaman tanaman yang ada di taman seakan memandangi ku. Tapi mereka diam. Mereka tidak peduli.
Aku juga tidak peduli. Atau tepatnya tidak mau memusingkan hal itu.
Yang sudah berlalu biarlah berlalu.
Tiba tiba bayangan Cindy terlintas di benakku.
“Oh iya, ya. Katanya kemarin Cindy mau nelpon. Tapi kok ini gak ada suaranya sama sekali.”
Kubuka handphone dan membuka messanger app. Kulihat memang tidak ada chat dari Cindy. Lalu aku mengecek Instagram Story.
Benar saja. Cindy mengunggah beberapa video. Nampaknya ia sedang melepas rasa rindu dengan keluarganya.
Kulihat wajah Cindy yang selalu memamerkan senyuman manis itu. Dia Nampak bahagia. Tertawa lepas dan tidak memperdulikan apapun. Aku tak sedikitpun kecewa. Lagipula seharian ini aku juga sibuk.
10 menit berlalu, aku masih saja bermain dengan handphone ku. Tidak ada tanda tanda gejala kantuk merasuki tubuhku.
Aku yakin ini karena caffeine dari kopiku tadi. Tapi tak mengapa, hari ini masih libur, besok juga.
Satu hal yang mengusirku dari taman itu adalah rasa dingin yang ditiupkan malam. Kubereskan semua barangku. Aku melangkah pergi.
Setelah yakin semua pintu sudah terkunci dan semua lampu sudah mati, aku lalu berjalan ke kamar.
Mumpung sedang bebas, aku mau ngegame saja. Sudah beberapa hari ini aku tak menyentuh game ku.
Vania masih tertidur, dan masih tanpa busana. Sejenak aku diam terkesima. Wajah cantik tanpa make up itu membuat darahku berdesir.
Puting pink yang tegak karna dingin itu membuat adikku segera terbangun.
“Fuck it. I’m gonna play something different” Pikiranku teralihkan. Komputer yang hendak aku nyalakan itu langsung aku lupakan.
Aku mendekatinya. Vania sudah berada di dunia yang sepenuhnya miliknya sendiri. Sekarang mungkin dia sedang berenang di lautan terdalam atau melayang di langit tertinggi.
Pipi mulus itu kukecup sambil aku mengelus rambutnya.
“Sorry, Van.”
Aku naik ke kasur, lalu beranjak ke area pangkal paha Vania.
“Kemarin kamu nyiksa adikku pas aku masih tidur. Sekarang gantian aku yang nyiksa meki mu pas kamu tidur.”
Benda jahanam itu kuelus pelan. Vania menggelinjang pelan.
Aliran darahku langsung berenang menuju adikku. Tak lama adikku sudah tegak berdiri.
Jariku bermain main dengan vagina Vania. Mengelus elus dengan penuh perasaan. Lalu memasukkan jariku ke dalamnya.
Kulihat Vania mulai bergerak pelan. Mungkin dia sedang bermimpi sedang “main”.
Vaginanya sudah mulai basah. Kini giliran mulutku yang bertugas.
Kukecup pelan benda kecil itu. Tak butuh waktu lama mulutku langsung beringas. G-spot nya kutekan tekan dengan lidahku. Vania makin menggelinjang.
Cukup lama aku bermain main dengan sisi bawah Vania. Dan kini vaginanya makin basah karena air liurku dan cairannya sendiri.
Kumasukkan lagi jariku, namun kini sudah bertambah menjadi 2 jari yang memuaskannya.
Vania menggelinjang lagi. Suara erangan halus keluar.
“Nghhhhhhh”
Gerakkan jariku makin cepat. Vania menggelinjang parah
Serangan aku tambah dengan menciumi perutnya yang rata. Kini Vania sudah meluapkan segala suara kenikmatan.
“Ahhh. Aaaaaah. Hnggghhhhh. Dhito, kamu ngapain? Ahnggggg”
Mata Vania masih tertutup. Tapi pintu kenikmatan sudah terbuka lebar.
“Gantian, Van. Bentar aja kok”
Kepala Vania bergerak kiri dan kanan tak karuan. Tangannya meremas remas rambutku.
Aku tak tahan liat kepala Vania yang bergerak tak beraturan. Mulutku seketika menyambar mulutnya. Membuatnya tidak bisa menggerakkan kepalanya lagi.
Setelah kurasa vagina Vania sudah basah, kini giliran adikku untuk beraksi.
“Hngggg. Dhit.” Vania menatapku. Wajahnya sayu. Seakan tak mau menunggu
“Aku keluar di dalam ya, Van?”
Aku bercanda saja. Tidak mungkin saja aku menghamili sepupuku.
“Aaah. Terseraaaah. Hnggg.”
Mulutnya langsung kusumpal. Adikku bersiap.
*blesss*
Mata Vania terbelalak. Mulutnya membentuk huruf O.
“Aaaaaaah. Dhit, kamu kok ganggu orang tidur. Enghhh. Hngggg” Erangan halus Vania membuatku lebih bersemangat.
Kubiarkan adikku bermain main di dalam tubuh Vania. Membiarkan dia memberi kenikamatan pada Vania, serta pada dirinya sendiri.
Tanganku yang menganggur bergerak ke arah gumpalan favoritku.
Mereka memijat mijat payudara Vania. Lalu memilin putingnya.
Vania menahan nahan kenikmatan yang sedang ia peroleh. Dia memejamkan matanya. Tangannya masih saja meremas remas rambutku.
Kiranya dia ingin menjambakku karena sudah mengganggu tidurnya. Alih alih terganggu, kini ia seakan membiarkan aku mengganggunya terus.
“Hngggg. Dhit. Hnggggghghhhhhhh. Ciuuuuum.” Vania menjadi manja. Dia menyodorkan bibirku.
“Huum.” Tidak perlu diingatkan, bibirku sudah mendarat di bibirnya.
“Hnggghh. Emmhmhhhh.” Erangan Vania tertahan oleh bibirku.
Dia melampiaskan erangannya menggunakan tangannya.
Tangannya yang sedari tadi meremas rambutku kini sudah tak tentu lagi arahnya.
Mulai dari mengelus punggungku, mencubit cubit perutku yang sedikit buncit, dan juga meremas remas pantatku.
Vania nampaknya bosan dengan ciumanku. Dia melepasnya. Dia ingin berteriak.
Kini erangannya sudah ia lepaskan sepenuhnya.
“AAAAH. HMMMMMMM. HNGGGGG” Dia menggigit bibirnya. Menahan rasa sakit yang dicampur kenikmatan. “AHNGGGG. DHIT. DHIT.”
Kupandangi wajah cantik wanita ini. Kuhilangkan status “sepupu” yang tersemat di antara kami. Saat ini kuanggap dia sebagai fuck buddy saja.
*slurp*
Payudara yang bebas itu kulahap. Kuciumi karena gemas. Dan membuat sebuah tanda berwarna merah di payudara sebelah kanan. Sebuah tanda yang menunjukkan bahwa kami pernah bersama sama berjuang meraih orgasme.
Vania makin mengerang.
Bibirku menanjak naik. Aku menciumi sisi atas Vania. Bergerak naik dari payudara, leher, hingga kembali lagi ke bibirnya.
“HNGGG. EMHHHHH.”
Akhirnya eranganku beranjak keluar. “Hnggg. Emhhhh”
Aku membuang kaosku. Melemparnya sekenanya.
Adikku kusuruh memperlambat gerakannya. Aku ingin membuat suasana romantis.
Kini gerakan pinggulku sudah melambat. Lebih halus dari pertama tadi.
Kegiatan kami sudah beralih dari seksual, menjadi keromantisan.
Bibir kami masih beradu. Lengan Vania melingkar di leherku, memeluknya erat, seakan tak mau kehilangan aku.
“Hngggg. Ehmmm.” Erangan Vania berubah menjadi halus lagi.
Suara suara indah nan lembut itu membuatku melayang. Ciuman ini seketika menjadi ciuman terindah yang pernah ku alami.
Namun sayangnya ciuman terindah ini harus kulakukan dengan sepupuku. Sebuah kegiatan yang sedikit kemungkinannya akan terjadi lagi.
“Aaahh.” Vania melepaskan bibirnya. “Dhit. Ini kok cuman satu aja yang dikasih tanda? Satunya enggak?”
“Siap, laksanakan!”
Mulutku beralih ke payudara sebelah kiri. Kulahap dan kubasahi benda itu.
Tak lupa kugigit pelan putingnya, serta menghisapnya. Persis seperti bayi yang sedang nenen.
Tanda merah lain lahir di payudara indah itu.
Aku tak tahan lagi. Adikku kupercepat. Makin lama makin cepat.
“AAAAAGHHHHH. HNGGGGG. ADUH. AHHHHMMMMM.” Vania makin tak tahan.
“Ahh. Hnnggg. Ahgg. Van. Ehmmm.” Cengkraman benda jahanam di bawah itu membuatku merem melek.
Adikku sudah bergerak dengan tempo maksimal.
“HNGGHH. UDAH. DHIT. AYO. GAK. HNGGGHH. EMHHH.” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Mulutnya digigit sendiri. “ARGHHH. DHIT. KELUAR. KEL. HNGG. BARENG. AAAH. AAAH”
Nafas Vania sudah tersengal sengal. Bibirnya kulahap lagi.
*crot*
“Hnggghh. Emhhhh. Hihihihi” Vania mengakhiri erangan manjanya dengan tawa kecil.
Spermaku bercampur dengan cairan Vania. Kehangatan itu membuat adikku lemas. Dia beranjak tidur.
Kubiarkan untuk sementara dia tidur di taman bermain barunya.
Aku ambruk ke badan Vania. Keringat kami bertemu.
Vania memelukku sambil menciumi pipiku.
“Hngghh. Dhit, Dhito.” Elusannya memelan. Lalu membisikkan sesuatu “Kamu kok beneran keluar di dalem?”
Aku yang masih mengatur nafas serasa dihantam batu besar. Aku merinding dicampur panik.
“Asu, Van. Bangsaaaaaaaat.” Dalam pelukan Vania aku memaki diriku sendiri.
“Hihihih. Yaudah gapapa. Enak, kan?” Wanita ini malah tertawa.
Adikku aku keluarkan dari dalam tubuh Vania. Aku sedikit bangun dan menatap keheranan ke arah Vania.
Dia tersenyum. Dia tau aku panik.
“Van, kok kamu malah tenang? Bisa bisa kita nanti dihantam sama pakde, bude, pak lek, bulek, dan yang lain”
“Dhito. Tenang. Gapapa” Vania masih tenang.
“Van, kalo kamu hamil gim-“ Aku tidak bisa menyembunyikan panikku.
“DHITO. AKU BILANG GAPAPA! TENANG! JANGAN PANIK!” Aparat ini menyemprotku lagi. Dia meyakinkanku.
“Van…”
“Dhit. Beneran gapapa. Tenang. Nanti aku ceritain. Sekarang kita tidur, ya?” Senyuman itu sedikit membuat aku tenang.
Aku menatapnya dalam dalam. Tangannya melingkar lagi ke leherku.
Bibir kami bertemu lagi. Mengakhiri pertempuran malam ini.
Hangat sekali.
Posisiku kini sudah berubah. Aku merebahkan diriku di samping Vania.
Vania memiringkan tubuhnya lalu memelukku. Kepalanya disandarkan ke dadaku.
“Goodnight, Dhit.” Kecupan bibirnya mendarat di pipiku.
Kubalas dengan remasan halus di pantat bulatnya.
“BERHENTI, GAK?!” Vania membuka matanya dan menatap tajam.
“Hehehehehe.”
Badan lelah kami memaksa kami untuk segera tidur.
Tak butuh waktu lama untuk membuat kami berangkat ke alam mimpi.
06.00
Sinar matahari mengetuk jendela kamarku. Cahaya terang itu membuka paksa mataku.
Vania masih terlelap. Dia menghadap tembok dan membelakangiku. Gulingku saat ini masih menjadi miliknya.
Kulit kami masih terbebas dari belenggu kain. Sentuhan sentuhan dan pertemuan kulit kami sedari malam tadi menjaga kami dari rasa dingin.
“Van. Bangun, Van.” Aku menggoyang goyangkan badan Vania.
“Hngggg.” Dia menggumam kesal. Alih alih beranjak bangun, kini gulingnya makin erat dipeluknya.
Aku yang masih mengantuk tak peduli. Lalu aku mencoba memeluk Vania.
Lenganku masuk ke dalam ruang sempit antara perut dan guling itu. Seketika rasa hangat menyelimuti.
Perutnya yang mulus itu kuelus elus. Sesekali mencubit pelan.
Vania tidak merespon dengan suara, tapi dengan gerakan. Dia akan bergerak jika dua jariku mencubit perutnya.
Gerakan gerakan kecilnya itu menggeser lenganku semakin naik. Hingga akhirnya menyentuh payudaranya.
Keisenganku muncul. Serangan tangan yang awalnya kulakukan di perut, kini sudah berpindah.
Harta berharga Vania sekarang mendapat sentuhan hangat dari tanganku.
Aku mengelus pelan, menciptakan sebuah rasa hangat. Sesekali meremas lembut.
Hampir lama aku bermain main dengan Payudaranya. Hingga akhirnya aku menyerang putingnya juga.
Masih sama gerakanku, namun kali ini ditambah dengan gesekan gesekan di area puting dan sekitarnya.
Tiba tiba Vania mengerang. Halus dan lembut sekali suara yang muncul.
“Enghhh.” Erangannya membangunkan adikku. “Hnggh. Kamu ngapain. Emhhh”
Aku menambah serangan dengan menciumi lehernya, lalu turun ke punggung tanpa noda itu.
Kini yang memberi jarak antara pangkal pahaku dan pantat Vania adalah adikku.
Kuselipkan adikku ke belahan pantatnya. Memberikan kehatangan pada adikku dan pantat Vania.
Vania mengerang lagi. Suaranya masih halus, dan sekarang ditambah dengan perasaan manja.
“Ehmmmm. Kamu ganggu orang tidur terus ih. Hnggggh.” Suaranya masih manja.
Vania brengsek. Dia membuatku tak perlu bergerak.
Dia berinisiatif untuk memaju mundurkan pantatnya. Dengan senang hati dia mengocok adikku dengan pantatnya.
Hangat dan geli sekali, meskipun hanya di belahannya saja, tidak sampai masuk.
Selagi dia yang beraksi, aku masih melancarkan aksiku di payudara dan lehernya.
Setiap jengkal kulit putihnya itu tak luput dari perhatianku. Jikalau bisa, aku akan menciuminya dari atas sampai akhir.
“Hngghhhh. Aaaaah. Dhito gabisa berhenti nih aku. Ahhmmmm. Hnghhhhh.” Vania meracau.
“Gapapa, Van. Gausah berhenti kalo perlu.”
“Dhit, pagi pagi kok udah tegang sih. Kamu an- Aaaahhhhhng.”
Vania tak bisa melanjutkan racaunnya. Tanganku yang menggesek putingnya membuat dia tersentak.
“Ehmmmmm. Dhittttttt.”
Gerakkan pantat Vania makin cepat. Aku tak mau kalah.
Bibir dan tanganku makin meliar.
*crot*
Adikku muntah. Aku lemas.
Untuk beberapa saat, belahan pantat Vania menjadi tempat penitipan anak anak yang gagal berkembang.
“Aaaaaaaaah.” Aku mengerang puas. Tapi tanganku masih mengelus elus puting Vania yang sudah keras.
Sebuah senyuman muncul di wajahku. Aku tersengal sengal, tapi puas.
Di saat indah itu, Vania berbalik. Dia menatapku tajam. Mukanya marah.
Aku panik. Lalu dia bangun sedikit mengambil bantal yang ia gunakan untuk sandaran kepala.
“Masih pagi, ******!” Vania marah. Bantal yang awalnya berada di bawah kepalanya kini sudah ia gunakan untuk menutupi mukaku.
Mirip orang yang sedang mencoba membuat orang pingsan.
“AAAH. IYA IYA. MAAF. AGHHH. VAN. AMPUN. AAAAGHHHHH”
Permohonanku hanya dibalas dengan tatapan yang makin tajam.
Aku diam tak bergerak. Aku dimarahi lagi oleh seorang aparat.
Dia tak peduli, lalu beranjak turun dari kasur. Setelah itu dia memandangiku. Yang bisa kulakukan hanyalah memandanginya dengan wajah kebingungan.
Lagi lagi dia menyemprotku.
“Sekarang, bangun!”
“Eh, iya. Bent-“
“BANGUN!”
Aku turun dari kasur. Badanku lemas. Aku lalu merunduk malu.
Persis seorang junior yang sedang diplonco oleh seniornya.
“MANDI!”
“Eng. I.. Iya…”
“Main doang semangat. Bangung pagi enggak. Mandi!” Teriakannya diiringi dengan tatapan tajam, setajam silet.
Teriakan itu membangunkanku. Serta membuat aku melangkah ke kamar mandi.
Untuk pertama kalinya aku bangun pagi karena sebuah bentakan. Tapi aku tak mau repot repot memikirkan itu.
Aku menyalakan shower. Kuatur agar suhunya pas. Tidak terlalu dingin, serta tidak terlalu panas.
Tidak pernah aku langsung membasahi tubuhku. Entah kenapa aku akan selalu bernyanyi dulu.
Setelah cukup puas bernyanyi, aku akan melangkah masuk ke bawah pancuran air.
Aku berdiam diri. Membiarkan bulir bulir air membersihkan tubuhku. Segar sekali rasanya.
Setelah cukup basah, aku mundur sedikit. Mengambil sabun dan bersiap untuk menyabuni diriku sendiri.
*beg*
“Dhitoooooo. Hehehehehe. Kok kamar mandinya gak dikunci?” Setan cantik ini tiba tiba masuk ke kamar mandi dan memelukku dari belakang. Payudara yang kenyal itu menempel di punggungku.
“Apa?” Jawabku ketus
“Kaget yaaa dimarahin pagi pagi? Udah cocok belum jadi aparat?”
“Gak peduli.”
“Hihihihihi kok gitu?” Vania tertawa manja menggodaku. Lengannya makin erat memelukku. Serta mencubit cubit perutku. “Tadi masa gitu doang, Dhit? Lega emang?”
“HHHHHHHH.” Aku hanya bergumam kesal
“Ih, Dhito. Jahat bangeeeet. Adikmu kasian, lho. Masa tadi cuman nyelip doang? Dia pasti pengen ke dalem.” Vania makin memanja. Tangannya mulai bergerak ke pangkal pahaku.
Aku tak menjawab. Lebih tepatnya tidak bisa menjawab. Tangan halus Vania mulai menggenggam adikku. Perlahan lahan mengocoknya dan membuat dia bangun.
“Kan. Tadi dia belum lega, Dhit.” Pelukkannya dilepas. Kini dia sudah berjongkok di depanku. Masih menggenggam adikku dan sekarang seolah berbicara kepadanya. “Uluh uluh belum lega, ya, dek? Yaudah sini sama tante.”
Kepala adikku kini sudah berada di bibir manisnya. Sebentar saja adikku langsung dilahap.
Dia yang sedari tadi basah karena air, kini makin basah karena air liur Vania. Dia mengulumnya dengan teratur.
Menghisapnya pelan, lalu berdiam sebentar dan bermain main dengan lidahnya, lalu bergerak maju mundur lagi. Perlahan, tapi pasti. Dan membuatku merem melek lagi.
Shower aku matikan. Ruangan basah ini seketika hanya diisi dengan suara manja Vania.
“Hmmmm. Hmmmm. Enghhh. Aaaaah.” Dia mengeluarkan adikku, memainkannya dengan tangannya, sambil menatapku dengan binal.
Aku meremas payudaranya yang bebas, lalu setengah berteriak. “TERUSIN. JANGAN BERHENTI!”
“Hihihihihi. Siap, laksanakan!”
Vania melanjutkan kegiatannya. Gerakannya masih sama. Bergerak perlahan, lalu sebentar sebentar mendiamkan mulutnya dan menyuruh lidahnya yang bekerja.
Setelah puas menyuruh mulutnya, kini dia berdiri lalu menghadap tembok. Dia membungkukkan badannya. Kakinya yang jenjang terbuka. Memperlihatkan harta karun yang lainnya.
Aku bergerak maju. Kuciumi lehernya.
Kini jari jariku sudah menari indah di vaginanya. Mengelus elus dan sedikit memasukkan jariku, yang langsung membuat Vania tersentak dan mengerang pelan.
“Aaaaah. Hnggggh.” Vania mendongakkan kepalanya. Mengeluarkan erangannya, seakan serigala yang sedang meraung di bawah sinar bulan purnama.
Adikku siap untuk bertempur lagi. Aku meremas manja payudara Vania. Membuatnya mengerang lagi.
Untuk sementara, aku akan menggodanya. Adikku tidak langsung masuk, aku biarkan dia menggesek gesek vagina Vania. Lagipula, aku mencoba untuk membuat Vania basah terlebih dahulu.
Vania tidak tahan dengan gesekkan itu, tapi adikku tidak peduli.
“Dhit, enghhh.”
“Iya, sayang?” Aku masih saja menggesek gesek vaginanya.
“Hnggh. Dhit. MASUKKIN SEKARANG!” Vania menggertak. Aku tak bergeming. Adikku masih bergerak menggodannya. “Hnggg. Aaah. Dhito. CEPETAN. MASU- AAAAaaaaaah. Hnggggghhhh“
*bles*
Vagina Vania kini sudah terisi. Cairannya memudahkan adikku untuk bergerak. Setiap gerakkan membuat ia tersentak. Kakinya makin melebar. Badanku yang mulanya basah karena air kini basa karena keringat.
Aku menggarap Vania tanpa ampun. Tidak memberikan gerakkan yang teratur, membuatnya makin meraung.
“AHHNNGGGGG. ENGHHHH. AAAAH AH. AH. AH. HNGGGG.” Vania meringis menahan nikmat.
“Van. Ehngg. Aaaah. Hmmm. Sampe kapan. Ah. Hnghh. Kita gini terus?” Tanyaku sambil meremas remas payudaranya.
“AHNNGGG. GAK. TAU. DHIT. AHHH. EMHHH. EHHHH.”
Sebentar saja Vania sudah “kencing” lagi. Cairannya membuatku makin mudah menggarapnya.
Dia mendongakkan kepalanya dan menghadapku.
“DHIT. KELUAR. AKU. UDAH. HNGGHHH. AKU UDAH. AAH. AH. AH. KELUAR. AHHNGGGGHH.”
Erangan Vania hanya kubalas dengan mencium bibirnya. Kini erangannya sedikit teredam.
Tangannya bergerak tak beraturan. Kadang terkepal, kadang mengelus elus tembok, kadang meremas payudaranya sendiri.
Aku memperlambat tempoku. Membiarkan dia bernafas sebentar. Dia masih tersengal sengal.
Tanpa aba aba, aku mempercepat kembali gerakanku. Aku sudah bosan dengan payudaranya, kini aku bermain main dengan pantatnya.
“DHITO. AHHHHH. KIRA- AHHNGGGGG. EHMMMMMMM. KIRAIN SELESAI. AH. AH. AH. AHHNGGG.”
Badannya bergoyang hebat. Payudaranya bergerak naik turun tak beraturan. Serta erangan halusnya memekakkan telingaku.
Hampir lama aku mengerjai Vania. Adikku sudah lelah. Kali ini dia tidak bisa bertahan lama. Ketika kurasa sudah diujung tanduk, langsung kucabut adikku dan mengotori punggungnya.
“Enghhhh. Vaan. Aahhh.”
“Aaah. Dhit. Lemes. Hnghhh.”
Aku memeluk Vania. Adikku masih terselip di pahanya. Punggungnya menjadi sasaran bibirku. Payudaranya yang bebas kembali aku elus dan remas remas.
Vania masih tersengal sengal. Mencoba untuk mengatur nafasnya.
“Kamu gila, Dhit.”
“Kok aku? Yang tiba tiba masuk siapa?” Aku mencubit perutnya sangat keras.
“Aaaah. Aduh, aduh. Iya iya. Udah mandi sanaaa!”
Shower aku nyalakan kembali. Kini kami bermain main di bawah kehangatan air.
Saling menyabuni satu sama lain. Beberapa kali menggoda satu sama lain. Persis seperti waktu kami masih kecil.
08.00
Kini kami sudah berpakaian lagi. Tapi aku hanya memakai boxer tanpa CD dan kaos, sedang vania hanya memakai CD dan tanktop saja. Vania juga sudah memasak makanan untuk kami sarapan.
Kami duduk di sofa dan memanjakan perut. Diiringi dengan obrolan obrolan ringan. Setelah habis, kami hanya menaruh piring piring itu di meja tengah.
Obrolan kami awalnya hanya sebatas keluarga, masa kecil kami, sekolah, pekerjaan, dan sampai di mana kami bertukar cerita tentang kehidupan “gelap” kami.
Aku bercerita tentang Cindy. Dan Vania menganggap aku gila karena berani melakukan kegiatan seksual di tempat umum, terlebih lagi di tempat kerja.
Lalu sampai giliran Vania bercerita.
Dia menatap keluar. Tatapannya kosong. Dia menarik nafas panjang.
Berawal dari 2 tahun lalu. Saat itu dia didekati oleh Aparat pria berpangkat tinggi yang sudah menduda. Seorang duda yang selama hidupnya tidak mempunyai anak karena takdir harus merenggut istrinya dari dunia, sebelum mereka dikaruniai seorang anak. Menurutnya, pria itu ganteng dan berwibawa. Vania terpikat. Ditambah dengan sikap pria itu yang sangat mengayomi Vania. Tidak hanya sebatas senior ke junior, tapi lebih ke ayah dan anak. Vania akhirnya luluh. Terlebih sedari SMP Vania sudah kehilangan kasih sayang seorang Ayah.
Dia bercerita bahwa kali itu dia benar benar merasakan sosok Ayah yang sebenarnya. Ayah yang mengayomi, yang selalu ada di sampingnya, sesuatu yang tidak bisa didapatkan dari Ayah kandungnya sendiri.
Kini dia merebahkan diri di sofa. Dengan menggunakan pahaku sebagai bantalnya. Dengan lembut aku mengelus elus rambutnya. Lalu dia melanjutkan ceritanya.
Long story short, mereka berkencan. Mereka backstreet. Tidak membiarkan seorang pun tahu. Niatnya, mereka akan mengejutkan rekan rekannya dengan langsung menggelar acara lamaran.
Pada suatu malam, mereka memutuskan untuk menginap di sebuah hotel. Niat awalnya hanya cuddling. Namun apadaya. Nafsu mereka liar, tidak bisa dikontrol. Vania nurut saja. Pikirnya ketika itu, dia akan dinikahi oleh seniornya ini.
Malam itu, Vania melepas keperawanannya.
Vania bercerita, malam itu tidak ada rasa penyesalan dalam dirinya. Yang ada hanya rasa nikmat, puas, dan makin mendalam perasaannya ke duda itu. Pada ronde pertama, mereka tidak melakukannya lama. Karena itu pertama kali untuk Vania, dia masih merasa kesakitan. Ketika sudah mereda, mereka melanjutkan kegiatannya lagi. Sampai beberapa ronde, bapak Aparat ini keceplosan. Dia menanam benih benih ke dalam tubuh Vania.
Awalnya Vania takut. Tapi karena tahu mereka akan menikah, rasa kaget dan takut itu menghilang. Setelah itu, Vania hanya menunggu gejala gejala kehamilan. Karena ketika dia sudah ada gejala hamil, maka dia akan minta segera dilamar.
Sehari, dua hari, seminggu, hingga akhirnya satu bulan. Tidak ada gejala gejala yang nampak. Vania keheranan. Tak menunggu lama, dia bercerita pada pria itu. Vania yang awam, serta pria yang tidak pernah mempunyai anak itu tidak menemukan jawaban. Hingga akhirnya mereka pergi ke dokter kandungan. Menutupi titel aparat yang tersemat, mereka mengaku bahwa mereka adalah ayah dan anak.
Setelah dokter selesai memeriksa, mereka akhirnya mendapat jawaban yang pasti.
Namun, hidup mereka tidak akan sama lagi.
Vania dinyatakan mandul.
Mereka lemas. Tak tahu harus bereaksi seperti apa. Vania hancur. Dia menangis sejadi jadinya. Kemungkinan kuat kegiatan fisik yang dilakukannya di markas menjadi alasan dibalik semua itu.
Pria itu berusaha menguatkan Vania. Meskipun dalam hatinya dia menangis. Mereka tetap bertekad untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius.
Sebuah kabar buruk datang lagi bagi pasangan ini. Secara mendadak, pria ini ditugaskan ke luar pulau selama satu bulan. Pada perpisahan malam itu, Vania diberikan kenang kenangan. Sebuah cincin yang sangat indah. Dia berpesan untuk menjaga cincin itu. Cukup disimpan dan dijaga, tidak untuk dipakai terlebih dulu. Sampai dia kembali pulang dan melamarnya. Vania menjaga pesan tersebut. Cincin itu tidak pernah dipakai olehnya. Hanya disimpan dan dijaga.
Tepat seminggu setelah kepergian calon suaminya, markas Vania berkabung. Rombongan yang membawa pria itu mengalami kecelakaan parah. Aparat senior itu harus menyusul mantan istrinya di surga.
Vania makin kalut. Dia berusaha kuat. Dalam acara berkabung itu, dia hanya bersedih sekenanya. Menunjukkan bahwa dia hanya kehilangan kolega, tidak seseorang yang namanya sudah tertanam rapi di hatinya.
Cincin itu, cincin yang tidak pernah mempunyai jari untuk menempatkan dirinya, masih tersimpan rapi di dalam kotaknya. Selalu dibawa kemanapun Vania pergi.
“Ya gitu, Dhit. Jadi ya malem itu pertama kali dan terakhir aku main.” Suara Vania memberat
“2 tahun ya, Van. Emang selama itu kamu gak pernah deket sama yang lain?”
“Dhit, pilihanku sekarang cuman ada dua. Yang lebih tua dan yang bisa mengayomi. Sering, Dhit. Sering. Berapa kali aku deket sama cowok lain, tapi aku gak pernah dapet yang punya keduanya.”
“Hidup itu memang selalu ada pilihan ya, Van. Ada pilihan untuk move on, tapi kamu lebih milih sebaliknya. Jangan gitu, dong. Kamu harus bisa keluar dari lubang hitam itu.” Tanganku mengelus halus rambutnya.
“Kamu kenapa jadi puitis gitu?”
“Enggh. Eh? Haha.”
“Kamu tau gak sih, Dhit. Aku udah mulai lupain dia. Tapi malem itu, pertama kalinya kita tidur bareng lagi, aku langsung inget dia.” Pernyataan Vania mengagetkanku. “Pertama kali aku lihat dia, aku inget kamu, Dhit. Dia mirip banget sama kamu.”
“Lah perasaan setiap lebaran kita ketemu tapi kok kamu baru ingetnya sekarang?”
“Karena pas itu aku hanya liat kalian mirip di tampilan dan wajah aja. Pas itu aku belum ngerasain ‘sentuhan’ mu. Terus malem itu, kamu berusaha ngerebut gulingku. Sedikit banyak tanganmu nyentuh nyentuh badanku. Tau kenapa aku langsung narik tanganmu buat meluk? Itu karna. Karn-“
Tangis Vania meledak. Dia menangis di pahaku. Anak ini membuatku kebingungan lagi. Lagi lagi aku harus menenangkannya.
“Pas itu aku langsung inget dia, Dhit. Kejadiannya sama. Pertama kali aku main sama dia kondisinya sama kayak gitu. Tapi pas itu dia yang mulai.” Tangisnya makin menderu. Mukanya dibekapkan ke perutku.
Aku melamun. Pandangan kosongku mengarah ke luar taman. Sesaat aku bisa merasakan rasa rindu itu. Rindu yang teramat dalam membuatnya hampir kehilangan arah.
“Van, udah dong. Dia udah di surga. Kamu mau nangis sambil kayang ya dia gak bakal bisa balik. Udah ya, jangan nangis.” Pelukanku ke kepalanya makin erat. Dia hanya menangis sambil memeluk pinggangku.
Berbagai cara tak bisa menghentikan tangis sepupuku ini. Aku pasrah. Berdiam diri sambil mengelus elus rambutnya. Berharap hujan di sudut gelap matanya berhenti.
“You know I’ve seen a lot of what the world can do
And it’s breaking my heart in two
‘Cause I never want to see you sad girl
Don’t be a bad girl”
Sepenggal lirik lagu Wild World keluar dari mulutku. Sekarang tangis Vania sudah berhenti, tapi dia masih sesenggukan.
Dia menatapku. Matanya sayu. Terlihat kenangan kenangan indah bersama pria itu di ke dua matanya.
Sejenak bibir kami bertemu. Kami berciuman sebentar. Meskipun masih menunjukkan wajah sedih, kini Vania sudah tersenyum. Dan aku masih saja mengelus rambutnya.
Hingga akhirnya dia terlelap tidur. Kurasa ceritanya tadi menguras tenaganya. Kenangan indah dan pahit itu menyuruh dia untuk memejamkan matanya untuk beberapa saat.
“Dhit? Dhito?”
“Iya apa, Van? Gak sekalian tidur sampe besok?”
“Kamu di mana?”
“Lah ini abis dari dapur.” Aku berjalan mendekati Vania dengan membawa segelas es kopi buatanku sendiri.
Aku menjatuhkan badanku di sofa. Vania langsung menyambutku dengan sebuah pelukan. Dia melingkarkan tangannya di perutku. Dia bermanja. Mukanya dibenamkan di perutku.
“Kenapa sih, Van?”
“Jalan yuk, Dhit. Atau gak nongkrong aja deh. Di tempat biasa kamu nongkrong.”
“Yaudah sana cuci muka.”
“Bentar”
“Ya terserah sih kalo mau berangkat nanti.” Aku menyeruput es dari gelasku.
“Iya, sih. Agak nanti aja deh, Dhit.”
Vania hanya memandangiku. Dia tersenyum. Senyumnya seakan mengisyaratkan sesuatu.
Aku tersentak dan sedikit menyemburkan minuman yang masih belum sampai di tenggorokan. Karena tanpa aba aba dia membuka bokserku, tanpa ada sedikitpun perlawanan dari ku.
“Van, orang orang tuh bangun tidur nyari minum. Ini kamu malah nyari adek.”
“Hihihihihi kan aku minum dari yang ini.”
Bokserku sudah terlepas. Adikku kini bebas.
Dia membangunkan adikku yang masih lemas. Dan bermain main dengannya hingga ia puas.
“Iiiih masih belum bangun. Lucu deh.” Vania mulai memijatnya. Membiarkan tangannya bergerak bebas naik dan ke bawah.
“Terserah kamu, Van.” Tanganku sudah berpindah ke rambutnya dan mulai mengelusnya.
“Adek, bangun, yuk. Tante mandiin.” Wanita cantik ini sudah tak jelas arahnya.
Adikku mulai mengeras. Tangan Vania mulai beringas.
Kecepatan tangannya tak beraturan. Sedang aku masih menahan segala kenikmatan.
“Van, Van. Bentar. Pake kacamata dong hehe.” Aku menghentikan Vania.
“Ngapain, Dhit?”
“Please, yaa? Nanti aku kasih tau.” Aku memelas.
Dia diam lalu berjalan menuju kamarku. Tak lama dia sudah kembali dengan kacamata yang sudah terpasang di wajahnya. Melihatnya, adikku makin terbangun.
“Duh, cantik banget sih.” Godaanku hanya dibalas dengan tatapan sinis.
“Dhit, basahin bibirku, dong.” Vania menatapku. Dia menawarkan bibirnya.
Tak perlu waktu lama bibir kami langsung bertemu.
Setelah cukup puas, bibirnya pun didekatkan ke adikku. Dikecupnya lembut. Tidak ada sedetik, adikku sudah berada di dalam mulutnya.
“Engh!” Gerakkan tiba tiba itu membuatku sedikit menjambak rambutnya.
“Ehnggg. Aaaaah. Bentar ya, Dhit.”
“Terserah, Van. Mau sampe besok juga gapapa.”
Vania melanjutkan aktifitasnya. Tangan kiriku masih mengelus elus rambutnya. Sedang tangan kananku mulai meraba raba punggungnya. Aku ingin bermain dengan bola bola kesayanganku.
Tapi belum sampai aku menyentuhnya, tangan Vania langsung menepisnya.
“Tangannya bisa diem, gak?” Dia setengah membentakku. Matanya melotot. Aku tak berkutik.
Meskipun dalam tempo yang tak beraturan, tapi kelembutan dan kehangatan rongga mulut itu membuat adikku nyaman.
Vania kadang bergerak cepat, kadang lambat, kadang mendiamkan mulutnya. Selamat lima menit dia melakukan kegiatannya. Dalam lima menit itu juga aku merasakan kenikmatan sesaat.
“Emmmmm. Sluuurp. Aaaah. Engnggggggg.”
Dengan menambah suara erangan, secara tak sadar Vania mempercepat aku ejakulasi.
“Van. Aaahhhhh. Aku keluarin, ya.”
“Hee ngh. Eehhh.”
Aku melepas adikku dari mulutnya dan mengarahkannya ke wajah Vania.
*crot*
Wajah seksi Vania kini kotor dengan spermaku. Beberapa masih menempel di kacamatanya.
Nafasku masih tak teratur, tapi lega. Karena akhirnya aku ada kesempatan untuk mengotori wajah berkacamata seorang perempuan dengan spermaku.
Vania mencari cari tisu lalu membersihkan wajahnya. Setelah dirasa bersih, dia duduk di sampingku.
“Aku cuci muka aja, ya. Gausah mandi. Kelamaan.”
“Iyaudah terserah.”
Aku beranjak dari sofa dan berjalan ke kamarku untuk bersiap siap. Tak perlu menunggu Vania selesai, aku langsung mempersiapkan mobilku.
12.30
Kami sudah berada di dalam mobil. Kali ini Vania memakai legging hitamnya yang ketat, tanktop hitam, yang akan menunjukkan belahan dadanya ketika dia menunduk, dan cardigan.
Lalu satu hal yang paling aku senangi: Kacamata. Di mataku, hari ini Vania nampak lebih sexy.
“Van, there is something you have to know”
“What?”
“Fetishku itu cewek berkaca mata. Aku bakal gampang turn on kalo liat cewe berkaca mata.”
Vania menatapku keheranan, “Ah, itu dasarnya kamu gampang turn on aja.”
“Kamu juga godain terus.” Godaku dengan tiba tiba meremas payudaranya.
“UDAH FOKUS NYETIR!” Lagi lagi dia membentakku. Membuat aku kehilangan fokus untuk sesaat.
13.00
Kami sampai di sebuah café kecil di kotaku. Tempat untuk mencurahkan semua isi kepalaku. Dari ide ide pekerjaan, ide ide pembuatan lagu, tempat untuk menjadi penenang, serta tempat untuk ku mengadakan “reuni” dadakan dengan teman teman SMA ku. Terlebih lagi, pemilik café ini adalah Olive, seorang wanita imut, teman SMA ku sendiri, serta fuck buddy ku ketika jaman kuliah dulu.
Aku langsung mengajak Vania untuk memesan terlebih dahulu. Penjaga kasir yang sedang berjaga hari ini seorang pria muda normal. Darimana aku bisa tahu dia pria normal?
Karena dia tidak berkedip ketika Vania mendekati meja kasir. Dia masih tak bergerak meskipun aku dan Vania sudah di depannya.
Memang tak bisa dipungkiri. Pesona kecantikan Vania bisa membuat semua orang kehilangan fokusnya untuk sesaat.
“Mas?” Sapaanku mengembalikan pikirannya yang sempat hilang.
“Eh. Enggg. Iya, mas, mbak. Mau pesan apa?” Dia sekarang jadi salah tingkah.
“Van, pesen duluan.”
Aku mengamati gerak gerik dan mata anak ini ini. Dia keliatan gugup. Tapi, matanya, matanya tidak bisa berhenti melihat ke arah Vania.
Saat ini Vania sedang memesan. Untuk memilih pesanan, dia harus menunduk agar bisa membaca menu makanan yang sudah tertempel rapi di meja. Ditambah meja itu tidak terlalu tinggi.
Dengan sangat yakin, aku berasumsi bahwa pegawai ini sedang memperhatikan belahan dada Vania.
Vania tidak sadar, bahwa ada sepasang bola mata yang memperhatikan harta karunnya yang terpendam.
Sebagai sesama pria, aku paham bahwa anak ini tidak mau melewatkan rezeki yang berada di depan matanya. Tapi aku tak bisa tinggal diam.
“Eh, si Olive udah dateng?”
“Enggh. Itu, mbak Olive datengnya nanti sore.” Pertanyaan singkatku mengagetkannya.
Kulihat Vania sudah berdiri tegak kembali. Menyembunyikan lagi harta karunnya.
“Udah pesennya, Van?”
“Udah, Dhit.”
Café ini cukup ramai. Mengingat hari ini Minggu, dan besok masih tanggal merah. Kendati demikian, tidak sulit bagiku menemukan kursi bagi kami. Ada satu tempat yang masih kosong di balik rak buku di sudut café. Kulihat di sekitarnya banyak anak anak usia sekolah.
“Eh, btw tadi papa mama ngechat, Dhit. Katanya besok pagi mereka landing jam 6 pagi, trus langsung ke rumahmu.”
“Oh, yaudah syukur deh. Gak ada yang ngerepotin aku lagi.”
“Gak ada yang ngerepotin kamu atau gak ada yang ngerepotin adekmu hah?” Seketika perutku dicubit.
“Aduh, dua duanya!”
Kami melanjutkan obrolan kami. Obrolan obrolan tak penting, tapi sangat berarti. Dari obrolan ini kami bisa mengenal satu sama lain. Meskipun kami sudah kenal dari lama, tapi ketika beranjak dewasa kami sudah jarang bertemu.
Aku berusaha keras untuk tidak membahas kehidupannya ketika bertugas. Aku membiarkan Vania sendiri yang bercerita.
15.00
2 jam sudah berlalu. Segorombolan anak anak sekolah yang sedari tadi berisik sudah beranjak meninggalkan mejanya. Kini hanya kami berdua yang berada di sudut café ini.
Minuman dan makanan kecil kami sudah habis. Menyisakan gelas dan piring kotor di meja. Kami pun sudah kehabisan bahan pembicaraan. Aku bosan. Aku menendang nendang kakinya. Lalu dibalas tendangan yang lebih kencang lagi.
“Ngapain sih, Dhit.” Tukasnya ketus.
“Gabut, Van.”
Otak nakalku mulai aktif. Aku menggodanya lagi. Kali ini lebih extreme.
Tanganku mengarah ke bawah meja, lalu mendarat di paha Vania.
“Dhit. Berhenti.”
Aku tak menghiraukan. Tanganku bergerak sangat halus. Dengan menambah sedikit remasan remasan kecil di pahanya.
“Dhit. Jangan, dong.” Vania makin ketus. Tangannya berusaha membuang tanganku. Tapi tanganku tetap menjadi juaranya.
“Sshhh. Udah, tenang aja.” Senyumku penuh arti.
Tanganku mulai mendekat ke pangkal paha. Vania pasrah dan memainkan handphonenya.
Legging ketat Vania memudahkan rangsangan yang diberikan tanganku. Kini kakinya malah melebar.
Tanganku dengan mudah mengarah ke pangkal pahanya. Jari jariku bermain dengan harta karunnya yang lain. Vania langsung menaruh handphonenya. Mukanya mengadah ke atas. Matanya tertutup. Bibirnya digigit sendiri.
Gesekkan jari ku membuat Vania tak bisa bergerak banyak. Dia menahan kenikmatan itu.
Tak menunggu lama, tanganku mengarah masuk ke dalam leggingnya. Dengan niat membuat Vania jatuh ke lubang kenikmatan yang lebih dalam.
Sesaat tanganku akan masuk, tiba tiba ada teriakan yang mengagetkan kami.
“HAYOOOOO BERDUAN MOJOK MAU NGAPAIN?”
Teriakan Olive membuat tanganku mundur. Secepat kilas kukeluarkan lagi dari bawah meja.
“Bangsat, Liv. Bikin kaget aja.”
“Hahahaha. Kok gak bilang mau ke sini?”
“Ngapain. Lha kan aku udah sering ke sini.”
“Eh, siapa nih? Baru, Dhit?”
“Matamu. Ini sepupuku.”
Mereka pun berkenalan. Lalu Olive ikut duduk di meja kami.
“Kamu mau punya sepupu kaya gini, Van? Cowok brengsek kaya gini. Udah berapa cewek yang ‘disikat’ sama dia.”
“Hehe ya gimana lagi, kak.”
Aku membayangkan reaksi Olive jika dia tahu kalau aku juga sudah “menyikat” sepupuku ini.
Kami melanjutkan obrolan kami lagi. Hingga akhirnya memesan makanan dan minuman lagi. Tapi kali ini gratis, Olive yang membayar.
Setelah satu jam kami mengobrol. Olive meminta tolong ke aku.
“Dhit, kamu pinter komputer, kan? Aku minta tolong dong. Ini komputer di dalem dari kemarin agak aneh.”
“Aneh kenapa?”
“Ya makanya liat dulu.”
“Iya iya ah ngerepotin aja nih.”
“Van, bentar, ya. Kamu santai aja dulu. Pinjem abang mu”
“Iya, kak.”
Olive melangkah di depanku. Aku mengikutinya dari belakang. Mengamati setiap lekuk tubuh temanku ini. Dan masih tidak berubah. Tetap indah sedari dulu.
Kami masuk ke ruangannya yang kecil. Aku kagum. Olive tidak hanya membuat tempat ini sebagai Cafénya, tapi juga sebagai kantornya. Dia mengatur segala urusan administrasi, marketing, dan keuangan di sini.
Aku duduk mengamati komputernya lalu kunyalakan. Sedang Olive berdiri di sampingku.
Ku cek satu persatu. Tidak ada yang aneh. Semuanya nampak normal.
“Mana yang aneh, Liv?”
“Gak ada yang aneh emang.”
“Ah tai, Liv. Terus ngapain kamu minta tolong aku buat ngecek.” Aku berdiri sambil sedikit memarahi Olive.
“Yang aneh itu aku, Dhit. Kok kayaknya kangen main sama kamu.” Suaranya melembut. Matanya sayu. Tangannya berjalan jalan di dadaku hingga berhenti di pangkal pahaku. “Bentar aja yuk, Dhit.”
Olive berusaha membuka celanaku. Aku hanya tersenyum.
“Mentang mentang kamu yang punya Café ini ya, Liv. Jadi seenaknya kamu mau ngapain di sini.”
Celanaku sudah terlepas. Payudara Olive yang imut itu aku remas remas.
Adikku masih belum sepenunya terbangun dari tidurnya. Olive berusaha membangunkannya dengan sentuhan sentuhan lembut. Setelah sudah terbangun, kini Olive sudah mengocoknya dengan pelan. Aku tak mau diam saja. Bibir imutnya aku lahap.
“Quickie aja ya, Liv.”
“Iya, Dhit.”
“Yaudah kamu duduk sini.”
Olive duduk di kursi komputernya. Aku tak tahu sejak kapan celananya terbuka. Kami berciuman lagi. Vagina yang berbulu jarang itu langsung aku mainkan dengan jariku. Menggeseknya dengan tempo yang teratur.
Adikku yang sedari tadi masih berada di genggaman Olive kini kuarahkan ke arah mulut Olive. Dengan senang hati dia melahapnya. Bibir mungil itu seakan berusaha keras untuk memasukkan adikku. Tapi hal itu yang membuat nyaman.
“Hngghh. Emhhmghhhhhhh.” Erangan Olive menjadi tidak jelas karena gesekkan jariku, juga karena mulutnya sedang tersumpal.
Saat kurasa sudah basah semua, Olive mengeluarkan adikku. Kakinya melebar menunjukkan gundukkan mungilnya.
Dia menggenggam adikku. Ujung kepalanya digesekkan ke bibir Vaginanya. Aku yang tak mau berlama lama meninggalkan Vania langsung memasukkannya tanpa aba aba.
“Ehg! Angghhhhhhhh.” Raut muka Olive berubah menjadi raut muka kenikmatan.
Adikku masuk ke taman bermainnya. Taman bermain yang sudah lama tidak ia kunjungi. Vaginanya yang basah membuat adikku mudah untuk berjalan jalan.
Kini giliran adikku memuaskan nafsu sesaat Olive, setelah beberapa hari ini memuaskan Vania.
Payudara Olive yang masih terbungkus baju tetap aku mainkan. Payudara mungil dan imut itu. Selalu membuatku jatuh cinta.
Dari awal aku sudah mengatur cepat tempo gerakkan adikku. Pikirku agar cepat selesai juga aktifitas kami ini.
“Enghh. Dhit. Emhhhhhh.” Olive mulai mengerang pelan. Bibirnya digigit sendiri.
Erangan Olive mulai mengerang keras ketika adikku sudah berada di tempo maksimal. Di kondisi seperti ini, aku tak membiarkan dia mengerang keras. Mulutnya langsung aku sumpal dengan bibirku. Berharap akan meredam segala erangan Olive.
Vagina Olive mulai berkedut. Adikku makin terjepit. Dalam 5 menit itu kami beradu. Mengobati sedikit rasa rindu yang ada.
Gerakanku makin cepat, dan bibir kami masih beradu lidah. Hingga akhirnya Olive kencing.
“ENGHHHHH!!! Aaahhhhh. Dhit, keluar.”
“Aah. Bent- Bentar, Liv. Hnggh.” Aku tak peduli Olive sudah keluar. Aku masih saja menggenjotnya.
“Ah. Ah. AH. AAHHHH. HNGGGH.”
Adikku sudah berada di puncak kenikmatan. Sebentar lagi dia menyemburkan muntahannya. Segera kujabut dia dari dalam badan Olive.
Olive lantas turun dari kursi dan berjongkok di depanku. Sebuah kebiasaan lama yang tidak pernah ditinggalkan. Adikku langsung diurut dengan kasar. Tak butuh lama untuk adikku mengeluarkan muntahannya.
Kini muka Olive kotor karena spermaku. Wajah manisnya tidak berubah. Hanya saja bertambah menjadi wajah binal.
“Udah gak aneh sekarang, Liv?”
“Enggak, Dhit. Udah normal, kok.” Wajahnya tersenyum binal.
Segera kami membereskan semua ini. Aku memakai celanaku kembali, dan Olive masih membersihkan mukanya dengan tissue basah. Setelah selesai, kami langsung kembali menuju mejaku. Menghampiri Vania yang asik dengan handphonenya.
Aku mengecek jam tangan, dan ternyata permainan ku dengan Olive hanya memakan waktu sekitar 20 menit saja.
Waktu yang normal untuk sebuah quickie.
“Sorry lama ya, Van. Baru selesai tadi Dhito benerin komputerku.”
“Ah iya gapapa, kak.”
Aku yang kelelahan langsung duduk dan meminum minumanku. Lalu kami berbincang bincang lagi.
18.00
Aku dan Vania sudah beranjak pulang ke rumah. Sebelum kami berpamitan, Olive mengirimkan sebuah pesan ke WhatsApp.
“Kapan kapan lagi ya, Dhit. Tadi gak puas haha.”
Setelah kubaca, kubiarkan Vania berjalan di depanku. Lalu aku berbbisik ke Olive.
“Besok aja. Mumpung Vania besok udah dijemput dan rumahku masih kosong.”
Olive hanya tersenyum. Lalu kami berpamitan. Tidak lupa sebuah cipika cipiki dilakukan oleh Vania dan Olive.
Aku dan Vania sudah berada di mobil. Kami sebenarnya tidak ingin langsung pulang. Tapi kami bingung mau ke mana lagi.
“Mau ke mana, Dhit?”
“Gak tau. Bingung. Kamu mau ke mana? Langsung pulang?”
“Iya sama bingungnya, Dhit. Tapi ya males pulang.”
Kuputuskan untuk berputar putar saja saja kami bosan. Kami mampir membeli jajanan kecil di pinggir jalan. Sekedar untuk menemani perjalanan malam yang tak tentu arah ini.
Di sepanjang perjalanan ini kami hanya makan dan berkaraoke ria. Kami berteriak sesuka hati kami. Saling bersautan satu sama lain. Lalu ada kalanya kami berebut untuk memilih lagu.
“Bentar bentar. Ih. Dhito. Lagu ini aja.” Vania kekeuh. Dia tak mau kalah.
“Gantian, Van. Sekarang laguku.”
“Diem atau aku bentak lagi nih?!” Bentakan kecil itu membuatku menciut. Aku pasrah.
“Love of my life, you’ve hurt me
You’ve broken my heart and now you leave me
Love of my life, can’t you see?
Bring it back, bring it back
Don’t take it away from me, because you don’t know
What it means to me”
Aku menyesal tadi melarang Vania. Ternyata Vania memilih lagu yang pas. Lantunan lagu milik Queen itu membuat kami terhanyut.
Mobilku sekarang seakan menjadi panggung yang megah bagi kami. Kami bagaikan sepasang duo vocal yang sedang naik daun dan sedang tampil di depan para penggemarnya.
Setelah puas dengan Queen, kini gilaran aku yang memilih lagu. Dengan suasana seperti ini, aku memilih lagu andalanku
“Jabat tanganku mungkin untuk yang terakhir kali
Kita berbincang tentang memori di masa itu
Peluk tubuhku usapkan juga air mataku
Kita terharu seakan tidak bertemu lagi
Bersenang-senanglah
Karna hari ini yang kan kita rindukan
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Karna waktu ini yang kan kita banggakan di hari tua”
Mengingat besok Vania sudah harus pulang, aku memilih lagu perpisahan ini. Mengherankan juga. Hanya 3 hari kami bersama. Tapi cerita dan kenangannya seakan kami selalu bersama.
Vania terdiam mendengarkan lagu ini. Tapi dia tersenyum. Tangannya menggenggam tanganku yang sedang memegang tuas perseneling. Dia menoleh ke arahku. Memandangiku yang sedang fokus mengemudi.
Kemudian bibirnya mendarat di pipiku.
“Thanks, Dhit.”
Kubalas semua itu dengan senyuman kecil.
21.00
Mobil sudah terparkir rapi di garasi. Setelah puas berkaraoke dan menghabiskan jajanan yang sangat melimpah. Kami berjalan masuk ke dalam rumah. Tak lupa aku mengunci pagar dan pintu depan.
Meskipun tadi berada di ruang ber AC, tapi hasrat untuk mandi tak bisa ditolak.
“Mandi dulu sana, Van.”
“Iya, Dhit. Jangan ngintip, ya.”
“Ngapain ngintip, mending langsung masuk.”
Aku berjalan keluar kamar menuju dapur untuk mengambil air dingin, lalu berjalan ke taman. Sesampainya di sana, kunyalakan rokok yang sedari tadi menganggur. Kuhempaskan asapnya ke langit. Kunikmati setiap nikotin yang merasuki tubuhku.
Seketika rasa sedih menyelimuti. Teringat ini hari terakhirku dengan Vania, karena besok dia sudah dijemput orang tuanya dan kembali pulang.
Tapi tak mengapa. Tak ada hal yang bisa aku lakukan. Tak mungkin juga aku mencegah mereka.
21.30
Di penghujung rokok ke duaku, kudengar Vania sudah berjalan keluar dari kamar mandi. Segera kumatikan rokokku dan berjalan ke kamar mandi. Aku mampir sebentar ke kamar untuk melepaskan celana dan menaruh kaosku. Kulihat Vania sudah di dalam kamarku memakai handuk kimononya.
Hanya butuh waktu 10 menit untukku menyelesaikan mandi malamku. Aku berjalan ke kamar untuk mengambil kaos. Tak lama Vania memanggilku dari ruang tengah. Segera kuhampiri sepupuku itu.
Kulihat dia masih menggunakan handuknya.
“Sini duduk dulu. Ini kopinya.”
“Weeeee ada apa nih kok tiba tiba bikinin kopi?” Aku keheranan, tapi senang senang saja karena dibuatkan kopi.
“Minum dulu. Kalo bisa langsung abisin.”
“Ya mana bisa langsung abis. Aneh aneh aja kamu inil.”
“Hihihihi. Coba sekarang tutup mata deh.”
“Halah aneh aneh aja.” Aku tak menggubris permintaannya. Kulanjutkan meminum kopiku.
“TUTUP MATA SEKARANG.” Bentakkan itu langsung meluncur dari mulutnya. Aku yang menciut langsung mengikuti perintahnya.
Aku menaruh gelas di meja, lalu menutup mataku.
*beg*
Mataku terbuka. Vania mengagetkanku dengan langsung duduk di pangkuanku. Tanpa sehelai pakaian.
Handuknya yang ia pakai tadi sudah berada di lantai.
“Today is our last day, Dhit. I want to make you as mine, for the last time.” Vania berbisik lembut. Payudaranya yang menantang berada tepat di depan mukaku.
“Do whatever you want.”
Vania berdiri dari pangkuanku. Dia meloloskan boxerku. Sekali lagi membebaskan adikku dari belenggu boxer dan CD ku.
*Sluurp*
Bibir binal itu langsung membasahi adikku. Kurasakan lagi kehangatan di dalam mulut itu. Membuat adikku langsung berdiri tegak. Kepala Vania bergerak ke atas dan ke bawah. Aku pasrah saja. Pikirku ini hari terakhir. Tak akan aku sia siakan.
Payudara yang sedari tadi bebas menjadi sasaranku. Kumainkan sepuas hati. Memberikan remasan remasan dari halus hingga kasar. Serta bermain main dengan putingnya.
Permainan tanganku membuat Vania makin meliar. Gerakannya yang tadi pelan, kini mulai bergerak cepat. Vania makin membuatku kewalahan.
Aku menyimpan tenaga dan spermaku. Kepala Vania aku lepaskan.
“Udah, Van. Berhenti dulu.”
“Hihihihi. Iya, Dhit.” Vania tertawa kecil sambil tetap meremas adikku.
“Aku ada permintaan, Van.”
“Apa?”
“Pake kacamata dong.” Aku mengeluarkan senyum penuh arti ke arahnya.
“Boleh. Kacamatanya di kamar. Aku males jalan ke sana.”
Tanpa ba bi bu, aku berdiri dan menggendong Vania ke kamar. Vania melingkarkan lengannya di leherku. Sepanjang perjalanan singkat itu kami berciuman.
Sesampainya di kamar, aku menurunkan Vania. Membiarkan ia memakai kacamatanya. Lalu aku memilih playlist Jazz Instrument di Spotify.
Kini ia nampak makin seksi di mataku. Paduan antara rona wajahnya yang cantik, dan kacamata yang membuat ia makin seksi, membuat aku tak tahan. Tubuh Vania kupeluk lagi. Bibirnya menjadi sasaranku. Kami berciuman. Manis dan romantis sekali. Kami terbawa suasana. Suasana haru karena kami harus berpisah, serta ditambah dengan nuansa yang diberikan oleh lagu lagu yang aku putar.
Aku membawa Vania ke kasur. Kurebahkan dia di atas kasur. Lalu aku menciuminya lagi.
Tidak ada sentuhan sentuhan yang kami rasakan. Kami hanya fokus beradu lidah. Sedang tangan Vania melingkar di leherku sambil mengelus elus rambutku. Tak lama tangannya dilepas. Dia mencari cari adikku di bawah sana. Setelah ketemu, dia langsung mengocoknya dengan halus.
Aku tak mau kalah. Vagina yang sedari tadi menganggur, langsung aku sambar dengan jari jariku. Erangan Vania kini mulai muncul karena rangsangan yang kuberikan. Tak hanya erangan, kini kocokkan ke adikku juga makin cepat.
“Hmmmm. Enghhhhh. Ehhhh. Aaaaaaaah.”
Semakin cepat gesekkan jariku, maka semakin keras juga erangan yang muncul dari mulut Vania.
Jari jariku terasa pegal. Aku melepas bibirku dari bibirnya. Membiarkan dia berjalan jalan dari bibir, ke leher, hingga berhenti sebentar di payudaranya. Putingnya yang sudah tegang langsung aku lahap. Menyedot nyedotnya hingga membuat Vania berguncang hebat.
Bibirku kembali berjalan jalan lagi. Dari payudara, kini mengarah ke perut, lalu berhenti di vagina Vania.
Kukecup lembut, lalu kumainkan dengan lidahku. Vania makin tak karuan.
“ENGHHHHHHHHHHHHHH. AAAAAAAH. DHiT, DHITO. AHNHHHNGNGHHHHH.”
“Sabar ya, Van.” Lidahku beraksi kembali. Kini seranganku bertambah seiring dengan permainan tanganku di payudaranya.
“Dhit, udah. Jangan. Jang- Emhhhhhh. Jangan ampe keluar. Ahnhggg. Dhit.”
Aku berhenti lalu menarik Vania untuk bangun. Setelah itu aku memposisikan diriku untuk duduk bersandar ujung kasur. Vania langsung paham. Kini dia yang beraksi. Adikku dijepit dengan payudaranya.
Benda kenyal itu menghimpit adikku. Membuat dia kesempitan. Vania tanpa ampun mengocok adikku dengan payudaranya. Mulai dari kocokan lembut, hingga kocokan yang sangat brutal. Wajah berkacamata itu membuatku melayang. Kupandangi lama dan aku terhipnotis dengan pesona seksi aparat binal ini.
Cukup puas bermain main dengan payudaranya, Vania lalu duduk di pangkuanku lagi. Mengarahkan adikku agar masuk ke vaginanya.
*bles*
“Ahh, Van. Udah licin banget kamu.”
“Enghhhh. He eh. Aaaaah.” Vania mulai menggerakkan pinggulnya. Suasana romantic ini membuatnya bergerak secara perlahan. Tidak terburu buru.
Dia menciumiku dengan gemas. Rambut, dahi, dan pipi, semua menjadi sasaran bibirnya. Aku yang tak berkutik hanya bisa memainkan payudaranya dengan tanganku.
Lalu kami berciuman lagi. Romantis sekali.
Ciuman itu membuat kami melayang. Alunan musik yang sangat kalem membuat Vania bergerak seirama dengan musiknya. Sangat pelan. Sangat halus.
Tapi hal itu berubah ketika mulutku menyambar payudaranya. Vania langsung bergerak cepat karena rangsanganku. Aku menahan satu payudaranya dengan mulutku, satunya lagi aku tahan menggunakan tanganku.
“Enghh. Aghhhhhhh. Hnghh.” Kini erangan Vania mulai muncul kembali. Menambah suasana panas malam ini.
Vania bersemangat sekali. Gerakannya makin dipercepat. Sekitar 5 menit kemudian kurasakan pahaku basah.
“AAAAAAAH. HNGHHHHH. DHIT. AKU. KELUAAAR. Aaaahhhh.” Vania mengerang lega.
Dia ambruk di pelukanku. Membuat wajahku terbenam di payudaranya. Aku mengangkatnya lagi. Dia langsung bangun dan merebahkan badannya di kasur. Dia nampak kelelahan. Nafasnya masih ia atur.
Aku yang belum puas mengelus perut Vania. Membiarkan dia mengatur nafasnya. Setelah itu aku bangun dan berjongkok di depan wajah Vania.
“Dhit.”
“Van, kamu aja yang keluar, aku belum.”
“Ahhh, Dhito.”
Dengan sukarela Vania membangunkan adikku yang sedikit terlelap dengan mulutnya. Sentuhan hangat bibirnya membuat adikku bangun. Terlebih ketika adikku sudah memasuki rongga mulutnya.
“Aaaaaah. Gitu dong, Van. Ahng.” Tak sadar eranganku ikut keluar.
Vania tak peduli. Dia masih membasahi adikku dengan air liurnya. Dia mengoral adikku dengan penuh kelembutan. Setelah kurasa sudah cukup basah, aku langsung mencabutnya. Lalu beralih ke bibir yang satunya. Sepupuku ini hanya pasrah.
Aku mempermainkannya sebentar. Adikku tidak langsung masuk, tapi bermain main di bibir vaginanya. Hampir lama kami dalam posisi itu. Vania nampak tak tahan.
“DHITO. BURUAN MAS- AAAAAAAH.”
Sebelum aku dibentak lagi, aku langsung mengagetkannya. Kini adikku sudah masuk ke dalam tubuh Vania. Memberikan aku dan Vania sensasi kehangatan lagi.
Gerakkan pinggulku aku samakan dengan tempo musik. Sangat pelan. Dan sangat halus. Aku ingin menikmati malam ini. Aku mencium Vania lagi. Bibir kami beradu. Saling memberikan air liur satu sama lain.
“Engnhhhhh. Mhhhhhhh.” Vania mengerang halus. Membuatku makin bergairah.
Aku tidak mempercepat gerakanku. Kuikuti irama musik yang sedang kami dengar.
Aktifitasku aku tambah dengan permainan tanganku di payudaranya. Membuat Vania makin kewalahan.
Dengan tempo yang pelan ini, adikku akan lama juga muntahnya. Tak mengapa. Karena kami juga tidak buru buru.
Hampir lama kami dalam posisi itu. Sudah berulang kali erangan yang dikeluarkan Vania. Sudah berulang kali juga Vania menjambak halus rambutku. Tubuh kami juga sudah basah oleh keringat. Adikku sudah tak tahan lagi.
Aku mempercepat gerakkanku. Remasan tanganku di payudara Vania makin tak karuan. Gerakkan tiba tiba itu membuat Vania menjambak rambutku.
Matanya terpejam menahan rasa nikmat yang sedang ia rasakan. Aku menciumnya lagi.
“Ah. Van. Gak tahan.”
“Yaudah, Dhit. Hnghhhh. Ehmmmmmm. Keluarin. Aja. Aaaaahhhhhhh.”
Adikku sudah bekerja dengan tempo maksimal. Dia sudah bersiap siap untuk muntah.
*crot*
Kurasakan adikku kembali basah. Campuran antara muntahannya sendiri dan cairan kenikmatan milik Vania.
Dengan menyedot putingnya, aku membuang anak anakku di dalam tubuh Vania. Lalu aku ambruk di atas dada Vania.
“Ahhh. Dhit. Mentang mentang tau aku gak bisa hamil, kamu jadi seenaknya keluar di dalem.”
“Ah. Ah. Ah. Aaaaah. Gapapa, Van. Biar spesial. Since this is our last night.”
Vania hanya tersenyum. Dia masih memainkan rambutku. Lalu kami berciuman lagi. Peraduan bibir yang mungkin untuk terakhir kalinya.
Ciuman kami kali ini terasa berbeda. Entah kenapa aku merasakan hawa kesedihan yang menyelimuti kami.
Nampaknya Vania juga merasakan hal yang sama. Pelukannya erat sekali. Seakan tak mau kehilangan aku.
“Udah yuk, Dhit. Sana pake CD dan boxer lagi.” Vania tersenyum manja ke arahku.
“Yah, gak mau naked cuddling lagi?” Aku sedikit kecewa.
“Jaga jaga aja kalo tiba tiba besok pagi Papa udah di sini. Kita biar gak keribetan.”
Ada benarnya juga. Dengan sedikit rasa kecewa, aku bangun dan memakai kembali bawahanku. Vania juga melakukan hal yang sama.
Setelah itu. Aku mematikan lampu, dan bersiap untuk tidur.
“Eh, Dhit. Jangan tidur dulu, dong. Kamu punya film apa di komputer?”
“Enggg. Di komputer sih gak ada, adanya di laptop.”
“Yaudah lebih enak, kan. Jadi kita gak perlu miring nonton filmnya. Tinggal taruh meja di sebelah sana.” Tukas Vania sambil menunjuk sebelah ujung kasur.
“Yaudah mau nonton apa? Kamu aja yang milih, ya.”
Aku menyalakan laptopku. Setelah menyala, kubiarkan Vania memilih film.
“Ini aja deh, Dhit.”
Vania memilih 21 Jump Street, sebuah film komedi yang sudah berulang kali aku tonton.
Kami mulai menonton filmnya. Lalu Vania bersandar di dadaku. Aku bereaksi dengan melingkarkan lenganku di lehernya.
30 menit berlalu, kurasakan Vania tak bergerak. Rupanya dia sudah tertidur.
“Walah malah tidur. Gimana sih.”
Aku beranjak dari kasur dan mematikan laptopku. Ketika akan merebahkan diriku, aku memandangi sebentar wajah Vania. Wajahnya memamerkan sebuah senyuman kecil. Dalam hatiku berharap, semoga hati dan perasaannya juga tersenyum selalu. Meski sedang memikul beban berat di dalam kesehariannya, terutama di urusan asmara dan keluarga.
Aku mengecup lembut keningnya. Diapun terbangun. Matanya terbuka sedikit. Kini senyumnya melebar.
Dia mencium bibirku sebentar.
“Goodnight, Dhit. See you soon.”
Tak lama kamipun terlelap. Vania tidur dalam pelukanku. Sedang aku dihinggapi kesedihan karena harus berpisah dengan sepupuku ini. Meskipun tidak selamanya. Tapi, perasaan ini begitu mengganggu.
Aku berusaha menguatkan diriku sendiri. Kutanamkan dalam dalam status sepupu di antara kami. Hingga akhirnya aku lelah dan terbang menyusul Vania di langit mimpi.
Senin, 06.00
“Dhit, Dhito. Bangun, Dhit”
Mataku terbuka, tapi tidak bisa terbuka penuh karna ada cahaya terang dari jendela. Cahaya matahari bersiap mengetuk kaca dan membangunkanku.
Kulihat mamaku sudah berdiri di sampingku. Beliau menangis. Aku heran. Kapan mama dan papa pulang dari Bali?
Mama langsung memeluk Papa. Beliau menangis sejadi jadinya. Sedang Papa memandangiku dengan wajah haru. Rasa syukur berulang kali dia keluarkan dari mulutnya.
Lalu ada suara lantang yang sangat aku kenal.
“YA AMPUN AKHIRNYA. AKHIRNYA MAS DHITO BANGUN.” Teriakan Cindy mengagetkanku. Setelah itu dia langsung menangis.
Aku makin kebingungan. Kenapa Cindy pagi pagi berada di kamarku?
Tapi ada yang aneh. Aku melihat sekelilingku. Aneh. Sangat aneh.
Kamarku berubah. Mulai dari kasur, warna cat, hingga ukuran. Satu hal yang membuatku sadar adalah selang infus yang berada di urat nadiku.
Aku berada di rumah sakit.
Aku tak ingat apa apa. Seingatku, kemarin malam aku masih tidur memeluk Vania. Aku tak tahu kenapa tiba tiba sekarang aku berada di rumah sakit.
“Ma, pa, Vania mana?” Tanyaku lemas.
“Vania? Gak ada Vania di sini, Dhit. Dia kan masih tugas di Makassar.” Papa menjawab dengan kebingungan.
“Ma, pa, kemarin Vania ada di rumah. Dia yang nemenin aku. Dia sekarang di- Coba deh mana handphoneku?”
Mama merogoh rogoh tasnya. Lalu menyodorkan handphoneku. Kulihat layarnya retak sedikit. Baterainya juga sudah tinggal 10%.
Aku membuka folder contacts. Kuketik nama Vania. Hasilnya pun nihil. Aku membuka WhatsApp. Di sana juga tidak ada chat dari Vania. Yang kulihat hanyalah chat dari teman temanku.
Aku makin kebingungan. Sedangkan mama dan papa masih mengekspresikan rasa syukur mereka.
“Ma, Pa, Cin. Aku kenapa? Vania mana?” Aku panik bercampur sedih.
Mama, Papa, dan Cindy, semua nampak kebingungan karena aku mencari Vania. Terlebih Cindy yang tidak tahu Vania itu siapa.
“Ma, Pa, Cin. Jawab.” Aku tambah panik, tapi mama papa tidak menjawab. Akhirnya Cindy yang angkat bicara.
“Mas Dhito, hari Kamis kemarin itu abis pulang kantor kita mampir makan bentar. Abis itu kamu nganter aku pulang. Lah pas kamu nyebrang dari depan kosku, kamu ketabrak mobil. Mobilnya ngebut banget pas itu. Kamu langsung jatoh. Aku yang belum sempet nutup pintu pager kosan langsung lari ke kamu, mas.” Cindy berhenti sebentar untuk menyeka air matanya, “Udah deh mas, abis itu kamu langsung gak sadarkan diri. Dari tabrakan itu, kamu gak sadarkan diri, sampe sekarang akhirnya kamu bangun.”
Air mataku kini mengalir deras.
“Jadi aku ‘koma’ dari Kamis dan sekarang baru bangun?!”
T A M A T